Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Rabu, 18 November 2009

Pesawat pribadi dan para pejabat Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/18/03072925/wapres.tiba.di.italia

Berita kepergian wapres Boediono ke Roma untuk menghadiri pertemuan FAO tanggal 17 November 2009 tampak tenggelam di tengah hiruk-pikuk berita pertikaian cicak vs buaya. Apalagi figur Boediono memang "low profile" dan nyaris tak terdengar suaranya.

Kompas ternyata masih cermat dan kritis dengan membuat sub heading "pesawat khusus" dalam beritanya walaupun gagal mengelaborasi asal-usul pesawat tersebut dan biaya yang dikeluarkan pemerintah (kalau memang menggunakan uang negara) untuk membayar biaya pesawat khusus dibanding dengan kalau rombongan 11 orang tersebut menggunakan pesawat komersial.


Dari Wikipedia saya memperoleh data mengenai pesawat tersebut yang diklasifikasikan sebagai pesawat jet korporasi dan eksekutif VIP. (http://en.wikipedia.org/wiki/Bombardier_Global_Express)


Role Business jet
National origin Canada
Manufacturer Bombardier Aerospace
First flight October 13, 1996
Introduced 1993
Status In Service
Number built 260+ (including Global 5000s)
Unit cost US $45 million (Global 5000 - US $37.67 million

Ini bukan kali pertama pejabat Indonesia mempertontonkan kemiskinan negara ini dengan sangat kasar. Miris rasanya hati ini melihat para pejabat dari Singapore, termasuk perdana menterinya, bepergian menggunakan pesawat komersial padahal negaranya jauuuhhh lebih makmur daripada Indonesia.

Selama ini sosok Boediono selalu diperkenalkan sebagai seorang yang sederhana. Kemana perginya kesederhanaan itu? Apakah memang benar kata-kata orang bijak bahwa kekuasaan itu sangat menggoda dan dapat mengkorup jiwa yang paling mulia sekalipun.....

Kalau argumentasinya adalah bahwa penggunaan pesawat tersebut tidak mengganggu keuangan negara maka patutlah dipertanyakan motivasi sang manusia baik hati yang bersedia membuang uang sedemikian besar.

Kalau argumentasinya adalah mobilitas yang lebih terkendali (dapat berangkat dan pulang semaunya) maka patut pula dipertanyakan situasi kegentingan yang memerlukan kehadiran Boediono serta perencanaan pelaksana pemerintahan.