Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Jumat, 16 Mei 2008

Green Festival that was not green at all!

Uneg-uneg ini sudah saya tuliskan dalam Surat Pembaca Kompas dan telah dijawab oleh ketua panitia penyelenggara.
Saya lampirkan dua foto yang diambil di arena Green Festival sebagai bahan renungan akhir pekan. Saya tidak habis mengerti bagaimana orang bisa dengan nyaman berbaur dengan sampah, kecuali mereka yang memang karena alasan ekonomi tidak mempunyai pilihan lain.


Orang-orang kota yang berpendidikan tinggi dan mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup....kok bisa ya duduk nyaman, sambil makan pula, dengan sampah bertebaran di sekitarnya. Tangan saya rasanya sudah gatal ingin memungut sampah itu. Yang ironis, sampah-sampah itu beredar di sekitar tong sampah dengan warna mencolok!
Nugroho mengatakan bahwa panitia dibantu oleh Sekolah Alam Cikeas, dan saya memang melihat beberapa anak usia SD yang diberi seragam ini memunguti sampah yang dibuang oleh orang dewasa atau teman-teman sebayanya. Ini tidak mendidik! Yang terjadi, kita mendidik anak-anak SAC menjadi pemulung dan kita mengajarkan pada pengunjung lainnya untuk terus saja membuang sampah karena toh akan dibersihkan oleh anak-anak SAC.
Panitia juga menyediakan panggung musik dengan dukungan listrik ribuan watt yang menurut saya lebih merupakan pemborosan enerji! Lebih baik panggung itu dipakai untuk mengajak orang untuk tidak membuang sampah sembarangan. Tidak sedikit konser "hijau" yang akhirnya hanya menyisakan sampah segunung setelah konser selesai.
Semuanya ini harus dimulai dari pendidikan, di sekolah maupun di rumah.
Anak-anak saya, termasuk dua yang sudah dewasa, sampai saat ini selalu menyimpan sampah di saku bajunya karena tidak tega mengotori bumi tempat mereka menumpang hidup.

Surat KOMPAS kepada pembaca, 14 Mei 2008
Penjelasan Panitia ”Green Festival”
Terkait dengan surat di Kompas (6/5) ”Sampah di Arena Green Festival” yang disampaikan oleh Ibu Louisa Tuhatu perlu disampaikan, banyak kisah serupa yang kami terima. Kesadaran pada isu pemanasan global justru banyak muncul di kalangan anak-anak sehingga anak-anak yang mengajak orangtua menonton, bukan sebaliknya. Dari sekitar 46.000 pengunjung selama tiga hari festival, sekitar 65 persen di antaranya anak-anak.
Kami sengaja memilih kawasan Senayan, Jakarta, sebagai tempat terbuka yang strategis karena letaknya di ”pusat” Jakarta. Namun, karena tingginya suhu udara Jakarta, terutama di siang hari, yang bisa mencapai 29-30 derajat Celsius, tidak bisa lain kami harus menggelar tenda-tenda besar, terutama di bagian-bagian di mana kampanye dalam bentuk panel-panel informasi, poster, flyers, sampai ke tips-tips kecil kami tempatkan.
Ketika kami melakukan simulasi acara memang dihadapkan pada pilihan yang sungguh tidak menguntungkan. Jika menggunakan mesin pendingin atau AC, pesan kampanye seolah berseberangan dengan cara penyelenggaraannya. Namun, tanpa AC, suhu di dalam tenda akan cukup menyengat, apalagi ketika ribuan orang berada di dalamnya secara bersamaan. Dikhawatirkan orang akan kegerahan dan tidak akan tahan berlama-lama berada di dalam tenda.
Padahal, kalau kita tidak nyaman dan tergesa-gesa ingin cepat keluar karena kepanasan, bisa jadi materi kampanye yang kami sajikan tidak akan dicerna dengan baik. Kami terpaksa tetap menggunakan AC, tapi tidak menggunakan freon, melainkan refrigerant gas alam sehingga lebih ramah lingkungan.
Tentang sampah yang bertebaran, harus diakui bukan cuma mengganggu pemandangan, tapi juga merepotkan kami. Selain tenaga kebersihan dari panitia maupun petugas Senayan, kami juga dibantu Sekolah Alam Cikeas yang menurunkan puluhan siswanya untuk menjadi polisi sampah dan polisi disiplin di acara itu. Mereka bekerja tidak henti-henti dari pagi hingga malam. Tempat sampah organik dan anorganik sudah disebar hampir setiap 5 meter. Namun, memang disiplin membuang sampah pada tempatnya masih menjadi persoalan kita bersama.

Nugroho F Yudho
Ketua Panitia Green Festival 2008

Surat Pembaca kepada KOMPAS, 6 Mei 2008
Sampah di Arena ”Green Festival”
Tertarik promosi di radio, putri saya (8 tahun) yang berminat besar pada isu pemanasan global mengajak saya mengunjungi ”Green Festival” di Senayan, Jakarta. Sepanjang perjalanan menuju Senayan, dia berceloteh tentang pemanasan global yang dibaca di internet. Saat masuk area Senayan, dia berkomentar tentang tenda putih yang menjadi ajang pameran, yang menurutnya tidak sesuai dengan semangat ”Green Festival”.
Komentar berikut muncul saat memasuki tenda pertama. Dia melihat kartun Beny & Mice tentang dampak penggunaan AC, sementara kartun itu diletakkan tepat bersebelahan dengan AC besar (standing AC).
Komentar terakhir adalah saat melihat banyak sampah bertebaran di arena festival, apalagi di sekeliling festival dipenuhi penjual makanan.
Anak berusia delapan tahun tidak dapat memahami pesan berseberangan ini. Di satu sisi, ”Green Festival” mengusung isu pelestarian lingkungan dan pemanasan global yang diakibatkan oleh perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab. Di lain sisi, dia melihat banyak sampah plastik yang dibuang orang di arena festival. Seharusnya panitia festival menggunakan ajang itu untuk mengajarkan para penjual makanan, termasuk masyarakat pembeli, tentang penanganan sampah.
Sampah adalah salah satu komponen pengganggu lingkungan bisa ditangani oleh tiap-tiap individu. Sayang, orang cenderung berbicara tentang hal-hal besar dan rumit daripada hal-hal kecil yang bisa dilakukan dengan mudah. Semoga bisa menjadi masukan bagi para penyelenggara acara bertema lingkungan.Louisa Tuhatu Jalan Asem II, Cipete, JakartaSampah di Arena ”Green Festival”
Tertarik promosi di radio, putri saya (8 tahun) yang berminat besar pada isu pemanasan global mengajak saya mengunjungi ”Green Festival” di Senayan, Jakarta. Sepanjang perjalanan menuju Senayan, dia berceloteh tentang pemanasan global yang dibaca di internet. Saat masuk area Senayan, dia berkomentar tentang tenda putih yang menjadi ajang pameran, yang menurutnya tidak sesuai dengan semangat ”Green Festival”.
Komentar berikut muncul saat memasuki tenda pertama. Dia melihat kartun Beny & Mice tentang dampak penggunaan AC, sementara kartun itu diletakkan tepat bersebelahan dengan AC besar (standing AC).
Komentar terakhir adalah saat melihat banyak sampah bertebaran di arena festival, apalagi di sekeliling festival dipenuhi penjual makanan.
Anak berusia delapan tahun tidak dapat memahami pesan berseberangan ini. Di satu sisi, ”Green Festival” mengusung isu pelestarian lingkungan dan pemanasan global yang diakibatkan oleh perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab. Di lain sisi, dia melihat banyak sampah plastik yang dibuang orang di arena festival. Seharusnya panitia festival menggunakan ajang itu untuk mengajarkan para penjual makanan, termasuk masyarakat pembeli, tentang penanganan sampah.
Sampah adalah salah satu komponen pengganggu lingkungan bisa ditangani oleh tiap-tiap individu. Sayang, orang cenderung berbicara tentang hal-hal besar dan rumit daripada hal-hal kecil yang bisa dilakukan dengan mudah. Semoga bisa menjadi masukan bagi para penyelenggara acara bertema lingkungan.
Louisa Tuhatu
Jalan Asem II, Cipete, Jakarta

Perdamaian atau pemusnahan?

Sudah dua hari berturut-turut Kompas mengangkat liputan konferensi internasional tentang Palestina yang diadakan di UI, Depok. Liputan hari pertama bahkan muncul di halaman utama.

http://kompas.co.id/kompascetak.php/read/xml/2008/05/15/01072588/palestina.bukan.konflik.agama http://kompas.co.id/kompascetak.php/read/xml/2008/05/16/00171950/perundingan.tidak.akan.bawa.hasil

Saya sangat tidak paham dengan konflik ini, karena itu saya tidak ingin berkomentar mengenai substansi perkara. Saya lebih condong melihat hal-hal yang menyangkut logika dan komunikasi.

Abdillah Thoha dari Komisi I DPR mengatakan tidak yakin akan ada perubahan dalam proses perdamaian Israel-Palestina dalam waktu dekat karena Israel hanya mengenal bahasa kekerasan. Saya bingung, karena persis di sebelah berita ini ada foto yang menggambarkan para petugas darurat Israel bergegas membawa perempuan Israel yang cedera akibat serangan roket dari kawasan Jalur Gaza. Menurut saya, bahasa kekerasan bukan monopolinya Israel. Ia digunakan oleh kedua belah pihak.

Ucapan lain yang juga membingungkan datang dari Salim Nazzal, sejarawan Palestina dari Norwegia. Ia mengatakan perdamaian tidak bisa dicapai dengan paksaan, dan AS tidak boleh lagi memperlihatkan perlakuan yang berbeda terhadap Israel dan Palestina. Anehnya, di kalimat berikutnya ia mengatakan bahwa perpecahan di kalangan Palestina menyulitkan usaha untuk "mengalahkan" Israel. Pernyataan mengerikan ini masih ditambah lagi dengan pernyataan yang diutarakan peserta unjuk rasa solidaritas terhadap Palestina di Solo yang menuntut Israel "dihapuskan" dari peta dunia. Ngeri....

Sebenarnya apa sih yang ingin dicapai? Perdamaian atau pemusnahan salah satu?

Negara besar

Sudah lamaaaaa sekali saya tidak mengisi blog saya. Jari ini rasanya tidak mau diajak menari. Tapi pagi ini saya seperti mendapat semangat ketika membaca halaman 10 Kompas tentang Palestina.

http://kompas.co.id/kompascetak.php/read/xml/2008/05/16/00171950/perundingan.tidak.akan.bawa.hasil

Ada banyak catatan tentang konferensi "internasional" tentang Palestina yang akan saya bahas di halaman lain.

Kali ini saya lebih tersentil ketika membaca kalimat "Sebagai negara besar, Indonesia seharusnya......"
Kalimat ini sangat sering digunakan pejabat, pengamat, politikus, dll. Bagi saya, ia sudah menjadi mantra yang menidurkan kita. Mantra ini hanya membuat kita semakin malas, semakin santai, karena kita merasa sudah "besar" sehingga tidak perlu lagi bekerja.
Coba kita simak "kebesaran" Indonesia: besar jumlah penduduknya, utangnya, penduduk miskinnya, korupsinya, polusinya, perusakan atas nama agama, pengangguran, anak putus sekolah, dll, dll.
Patutkah kita berbangga karenanya??