Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Jumat, 30 November 2007

Waspadai LSM di Aceh

Demikian headline berita tentang Lembaga Swadaya di halaman 3. Menurut saya, judul ini agak tidak tepat karena ternyata 70% berita ini mengupas potensi ekonomi Aceh.
Padahal, dengan judul yang bagus ini sang wartawan (A01) dapat menulis dengan sangat menarik dan berbobot. Ada banyak hal yang bisa dikupas dari kehadiran LSM di Aceh segera setelah tsunami. Bukan cerita baru kalau ada LSM yang menggunakan Aceh sebagai gimmick untuk menarik uang donor. Dan Kompas bisa mengupas hal ini lebih dalam lagi sekarang, pada saat uang donor sudah mulai mengering. Sekarang ini lah dapat terlihat mana LSM yang benar-benar ingin berkarya dan membantu masyarakat Aceh.

Mereka tak kunjung dipenuhi

Berita tentang rakyat lesu harapan buat saya samasekali tidak mempunyai nilai berita. Apa yang baru dari pernyataan itu? Selain tidak baru, isi berita juga terasa dangkal. Sebetulnya Kompas bisa menggali lebih banyak pada fenomena Sutiyoso.
Karena tidak mendapat pencerahan dari berita ini, akhirnya yang tampak adalah, lagi-lagi, kekeliruan bahasa.

Kalau saya menjadi editornya, kalimat paragraf ke-3 akan saya tulis sebagai berikut:

Kelesuan harapan ini, kata Yudi, misalnya terlihat ketika Sutiyoso mendeklarasikan diri sebagai calon presiden yang, meski prestasinya sebagai Gubernur DKI Jakarta biasa-biasa saja, langsung menarik perhatian.

Jadi, saya menambahkan dua kata dalam kalimat ini. Yang pertama adalah kata "diri" karena menurut saya harus jelas siapa yang dideklarasikan Sutiyoso sebagai calon presiden. Kata yang ke-dua adalah kata "yang" karena kata ini berfungsi menghubungkan dua anak kalimat.

Membaca sampai ke paragraf terakhir tertatap lagi satu gangguan kecil. "Tetapi, harapan itu segera berubah menjadi kekecewaan karena mereka tak kunjung dipenuhi." Yang tidak terpenuhi itu "mereka" atau "harapan mereka"? Atau kalimatnya bisa diganti menjadi "Tetapi, harapan itu segera berubah menjadi kekecewaan karena tidak pernah terwujudkan."

Tetap konsisten

Sejak terjadinya banjir air pasang yang melumpuhkan jalur transportasi menuju bandara Soekarno-Hatta hari Senin yang lalu, Kompas secara konsisten mengangkat isu perusakan kawasan pesisir. Bravo!
Hari ini Kompas mengutip pernyataan ketua REI DKI Jakarta, Tulus Sentosa bahwa pengembang hanya perlu bertanggung jawab atas lingkungan propertinya saja, selebihnya menjadi urusan pemerintah. Kutipan ini seharusnya diletakkan di paragraf pertama halaman muka, atau bahkan menjadi headline, sehingga masyarakat bisa melihat betapa egoisnya manusia yang satu ini. Belum lagi pernyataannya mengenai lahan resapan yang luas seharusnya dapat digarap untuk kepentingan ekonomi dan pemukiman.
Bagaimana kalau kita pindahkan tempat pembuangan sampah dari Bantar Gebang ke daerah jalan masuk menuju perumahan yang dibangun oleh Tulus? Bagaimana kalau kita putuskan jalan publik yang menuju perumahan pak Tulus yang dibangun dengan uang pemerintah? Cara berpikir seperti ini lah yang menimbulkan bencana di muka bumi.

Kamis, 29 November 2007

Pemimpin yang selalu mengeluh

Tambah satu lagi keluhan pemimpin republik ini. Setelah mengeluh kekurangan waktu untuk tidur dan selalu dihujat, sekarang SBY mengeluh bahwa ia selalu dihalang-halangi dalam usaha pemberantasan korupsi. Para penasehat politiknya telah berhasil menciptakan buzz word "cuci piring" untuk menandingi "tebar pesona" yang dilontarkan oleh Megawati. Sayangnya, kata ini menjadi menggelikan karena banyaknya ironi yang terkandung.

1. SBY mengatakan banyak pihak yang berupaya untuk menghalang-halangi. Di sini ada kata "upaya" yang berarti suatu proses untuk menghasilkan sesuatu. Kalau saya berada pada posisi beliau, upaya ini akan saya libas dengan kekuasaan dan mandat yang saya terima dari rakyat. Kenapa takut? Memangnya siapa yang presiden di sini? Beliau tidak perlu mengeluh, libas saja. Dan saya yakin beliau akan mendapat tepukan meriah dari rakyat.

2. SBY mengatakan bahwa bukti adanya usaha menghalangi ini adalah munculnya berbagai permintaan untuk penghentian pemberantasan korupsi karena dapat mengganggu iklim usaha. Hal ini sangat menggelikan kalau harus menjadi alasan untuk mengeluh. Orang boleh saja meminta, tetapi beliau juga bisa menolak, bukan? Logika yang sangat sederhana, sebetulnya.

3. Seperti yang dikatakan Budiman Sudjatmiko, menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Mengorek-ngorek piring kotor dari masa lalu tidak lah dilarang, walaupun pasti akan sulit karena piringnya mungkin sudah dibuang. Yang paling mudah sebetulnya adalah membersihkan piring kotor yang ada sekarang. Ada banyak kasus yang terjadi pada masa sekarang yang tidak disentuh, mulai dari kasus di Departemen Hukum sampai kasus di Departemen Kelautan dan Perikanan. Ini artinya SBY akan menjadi sama dengan orang-orang di masa lalu karena ia juga akan mewariskan piring kotor kepada pemerintahan berikutnya.

Puncak dari segala kegelian saya hari ini membaca Kompas adalah ketika membaca berita halaman 2 "Tak usah cari yang salah". SBY dikutip sebagai mengatakan agar masa lalu tidak perlu dilihat dan tidak usah mencari yang salah. Kutipan lengkapnya "Tak usah melihat ke belakang. Dulu barangkali banyak yang tidak bertanggung jawab mengobrak-abrik hutan dan tidak mau memelihara. Tidak usah mencari siapa yang salah. Mari mulai sekarang bersama-sama kita bikin baik." Waduuhhhh.... Di halaman 1 beliau mengeluh karena banyak yang menghalangi niat beliau mencuci piring kotor masa lalu. Di halaman 2 beliau mengatakan agar kita tidak lagi menghiraukan piring-piring kotor masa lalu dan mulai dengan piring yang bersih.

Bagaimana ini pak Presiden? Bingung saya.....

Rabu, 28 November 2007

Tata kota yang tidak tertata

Lead berita utama Kompas hari ini tentang gelombang pasang memuat kalimat yang tidak cermat. "Eksploitasi gegabah kalangan pemodal dengan restu pemerintah, yang menghancurkan kawasan rawa dan hutan bakau yang berfungsi sebagai penghadang air pasang, mengakibatkan gelombang pasang itu menggenangi pemukiman di pesisir dilanda banjir." Perhatikan frasa "menggenangi pemukiman di pesisir dilanda banjir". Yang menyedihkan, kesalahan ini sudah muncul pada anak berita utama, dengan huruf yang lebih besar.
Di luar masalah ketidakcermatan itu, saya senang Kompas mengangkat isu air pasang dan menghubungkannya dengan tata kota yang tidak bertata. Saya yakin semua media juga menyoroti hal ini, terutama karena dampaknya yang sangat besar terhadap akses menuju bandara Soekarno-Hatta. Sayangnya, Kompas lebih banyak mengutip komentar pengamat dibanding "menginterogasi" pejabat yang terkait dengan masalah pemberian ijin pembangunan PIK. Pengamat adalah pengamat, hanya mengamati dan berkomentar. Mereka tidak bisa mengubah apa-apa, tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas komentarnya, dan sangat jarang didengar oleh penguasa. Bianpoen bahkan dikutip menyebutkan etika dan integritas moral sebagai penyebab kekacauan. Kita selalu senang mendengar kata-kata suci ini, seperti air sejuk yang mengalir di tenggorokan kala dahaga. Masalahnya, para penguasa itu tidak mempunyai tenggorokan. Mereka hanya mempunyai lambung yang sangat besar, dan air itu akan langsung masuk ke dalam lambung tanpa lagi dirasakan kesejukannya. Untuk orang-orang seperti ini yang perlu dilakukan adalah tindakan tegas, termasuk pemotongan lambungnya kalau perlu. Tidak boleh ada perselingkuhan kekuasaan, seperti yang diangkat Kompas kemarin dengan menampilkan perbedaan pendapat antara pengelola bandara dengan Departemen Perhubungan soal pemberian ijin bangunan tinggi di sekitar bandara.
Ketika kita bicara mengenai tindakan tegas maka semuanya berujung pada sang pemimpin. Dan kita pun terdiam....

Kamis, 22 November 2007

Pulo Mas or Menteng Pulo, Bakrie's or not Bakrie's

Sekali lagi Kompas kurang cermat dalam menulis. Berita tentang penggusuran warga Menteng Atas menuliskan bahwa penggusuran dialami oleh warga yang mendiami areal TPU Pulo Mas, Kelurahan Menteng Atas. Setahu saya TPU itu bernama Menteng Pulo. Memang ada kesamaan antara kedua nama ini yaitu sama-sama mengandung kata Pulo. Tetapi dari sisi lokasi yang satu ada di Timur dan yang satu ada di Selatan.
Dari sisi isi juga ada berita yang membingungkan. Lurah Menteng Atas mengatakan bahwa tanah yang di atasnya akan dibangun kantor pemadam kebakaran dan puskesmas ini bukan milik Bakrie "sambil menunjukkan sertifikat tanah". Tetapi pada paragraf terakhir disebutkan bahwa lurah dan pemda masih akan berusaha melobi Bakrie Group supaya mau memberikan uang kerahiman, dan jika sampai batas waktu belum juga ada kesepakatan dengan Bakrie Group maka pembongkaran terpaksa dilakukan. Hmm...apa hubungannya Bakrie Group di sini?

Google masuk Kompas

Horeee....akhirnya ada artikel mengenai teknologi informasi yang mudah dimengerti dan sangat bermanfaat. Artikel tentang memberdayakan Google di halaman 14 tidak bertele-tele dan tidak sok canggih. Saya membandingkan tulisan ini dengan tulisan Rene yang, bagi saya yang awam, sangat sulit dimengerti.

Ironi konperensi perubahan iklim

Kompas kembali menurunkan berita-berita menyangkut Konperensi Perubahan Iklim di Bali yang akan datang dalam halaman Internasional dan Humaniora. Membaca kehebohan persiapan serta besarnya jumlah delegasi yang akan datang, saya langsung membayangkan betapa akan panasnya suhu udara di Bali saat itu. Ribuan orang yang datang itu akan tinggal di kamar yang ber-AC, melakukan pertemuan di ruang tertutup yang juga ber-AC, dan melakukan berbagai perjalanan dengan menggunakan ratusan mobil yang ber-AC. Belum lagi dihitung jadwal pesawat terbang umum dan privat yang mengangkut para delegasi. Semua ini akan memberi kontribusi pada perubahan iklim di Bali. Ironis sekali... Kalau para peserta ini konsisten dengan pesan perubahan iklim, maka mereka seharusnya mengadakan pertemuan di pinggir pantai atau di tengah hutan, serta tinggal di pondokan tanpa AC.

3i1 masih perlu kah?

Harini rasanya bukan lah korban pertama dari peraturan 3i1, dan rasanya bukan pula korban terakhir. Ada dua aspek yang terbaca dari artikel ini. Aspek pertama adalah kondisi ekonomi yang sedemikian parah sehingga Harini harus berjejer di pinggir jalan bersama ratusan orang lain. Suatu hari bahkan saya melihat seorang ibu menggendong bayi kecil juga ikut berjejer menawarkan jasa. Aspek ke dua adalah kenyataan bahwa orang Indonesia sangat pintar mengakali peraturan.
Melihat kenyataan ini, sudah waktunya Pemda DKI untuk mengaji usulan electronic road pricing seperti yang sudah diterapkan di Singapore. Uang yang diperoleh bisa digunakan untuk membangun atau memperluas jalan-jalan baru sehingga dapat mengurangi kemacetan. Tetapi sebelumnya pemerintah harus menertibkan peraturan pendaftaran kendaraan bermotor, terutama untuk kendaraan bekas. Pengalaman saya, jarang sekali orang mau melakukan balik nama kepemilikan setelah membeli sebuah kendaraan bermotor. Saya tidak tahu apakah hal ini disebabkan karena biayanya mahal atau prosesnya yang rumit. Yang jelas, setiap tahun saya selalu diganggu oleh pembeli mobil saya yang ingin meminjam KTP untuk memperpanjang STNK. Pada tahun ke-dua saya berhenti berbaik hati. Bagaimana kalau mobil itu digunakan untuk melakukan kejahatan, sementara kepemilikannya masih terdaftar atas nama saya?

Rabu, 21 November 2007

CSR atau promosi merokok?

CSR adalah suatu tindakan mulia dari korporasi bagi publiknya. Tidak ada yang menentang. Tetapi, pada saat suatu industri rokok memberikan "bantuan" beasiswa bagi mahasiswa, maka hal ini perlu direnungkan kembali (Kompas, hal.12, 21/11/2007). Apakah tindakan PT Djarum ini "mulia" atau merupakan bagian dari usaha memperkenalkan rokok Djarum kepada mahasiswa. Teman saya menjuluki saya "parno" atau paranoid. Memang, kalau menyangkut industri rokok saya langsung menjadi parno. Hal ini sangat beralasan karena mereka mempunyai dana marketing dan promosi hampir tidak terbatas. Mereka pandai menciptakan program yang dibungkus sebagai program pendidikan, kebudayaan dan olahraga, sebagai sarana memperkenalkan diri.
Saya masih ingat Kompas jaman dulu adalah Kompas yang mempunyai prinsip tidak mendukung industri rokok. Makanya dulu rasanya saya tidak pernah melihat iklan rokok di Kompas.

Mengapa menolak?

"Dalam acara itu, Megawati menolak memberikan uang saat dalam dialog seorang ibu meminta diberikan bantuan uang," kutipan berita "Megawati Coba Bangkitkan Rakyat Kecil" halaman 4 Kompas hari ini (21/11/07). Kalimat ini merupakan penutup dari artikel sehingga tidak ada penjelasan mengapa Megawati menolak. Bagi saya, ini sama dengan coitus interuptus karena Sutta menyampaikan sesuatu dengan tidak tuntas.

Pelanduk dan gajah

Akhirnya blog ini lahir setelah lama direncanakan tetapi selalu tertunda karena berbagai kegiatan yang tidak jelas.
Kompas pagi ini menampilkan isu menarik (atau lebih tepatnya: menyedihkan) mengenai pelanduk yang berjuang melawan gajah. Bagi orang-orang seusia saya yang pernah merasakan nikmatnya berkunjung dan berbelanja ke pasar tradisional, kehadiran peritel raksasa terasa cukup menyesakkan dada. Berbelanja bukan hanya sekadar datang, lihat, pilih, ambil dan bayar. Berbelanja mencakup aspek sosial di mana penjual berinteraksi dengan pembeli, ada percakapan. Di situlah nikmatnya berbelanja.
Di belahan dunia lain, tempat asalnya para peritel raksasa itu, mereka hanya boleh berjualan di pinggiran kota. Di dalam kota orang bisa berbelanja kebutuhan sehari-hari di toko atau pasar tradisional. Ada juga supermarket, tetapi bukan peritel raksasa. Kalaupun ada toko serba ada (department store) yang serba lengkap, harga barang-barangnya biasanya di atas harga pasar tradisional sehingga tidak akan mematikan pedagang kecil. Saya sangat menikmati proses berjalan dari satu toko ke toko yang lain, dari toko sayur ke toko daging. Karena lokasi toko-toko itu biasanya dekat dengan pemukiman maka biasanya pembeli dan penjual menjadi saling kenal.
Di Jakarta tahun 70-80an hal ini masih lumrah terjadi. Blok M masih merupakan kumpulan toko yang menjual beragam barang, pasar Hias Rias di Cikini terkenal dengan sepatu dan tas.
Pada saat pedagang raksasa masuk, dimulai dengan Makro sekitar tahun 90an, peraturan yang meletakkan pedagang besar dan grosir di pinggiran kota masih berlaku. Entah kenapa, peraturan ini memudar seiring berjalannya waktu. Kompas menyebutkan adanya Peraturan Daerah DKI Jakarta no.2/2002 tentang Perpasaran Swasta yang mengatur jarak peritel modern adalah 2,5 kilometer dari pasar tradisional. Peraturan ini, entah kenapa, tidak menjadi pertimbangan hakim yang memutuskan perkara gugutan pedagang ex Pasar Melawai. Alasannya, belum terjadi kerugian karena Carrefour belum benar-benar beroperasi di Blok M Square. Ini adalah logika yang sangat tidak logis karena tidak mempertimbangkan aspek pencegahan suatu kerugian. Carrefour sudah secara terang benderang mempromosikan pembukaan gerainya di Blok M Square. Mengapa hal ini tidak menjadi pertimbangan hakim yang terhormat?
Ada satu fakta yang meresahkan dalam membaca artikel ini. Disebutkan bahwa Blok M Square dibangun oleh kelompok Agung Podomoro. Kelompok pengembang ini tampaknya selalu membangun properti bermasalah. Lihat saja Plaza Semanggi, Jakarta City Center serta berbagai apartemen Mediterania. Dan yang lebih meresahkan lagi, Kompas terlihat sangat "pro" terhadap pengembang ini. Dalam rubrik properti yang digawangi Abun Sanda kelompok ini mendapat porsi yang sangat besar. Hampir selalu muncul di halaman properti.
Mengapa? Saya bertanya.