Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Rabu, 09 Juli 2008

Eskalasi....HELP...HELP....

Hari ini mata saya mendadak menjadi merah, sakit, dan gatal karena membaca kata "eskalasi" yang digunakan secara serampangan.

Kata "eskalasi" muncul di halaman 18 sebagai bagian dari judul berita "Eskalasi belum ditetapkan, proyek pemerintah terhambat". Kening saya langsung berkerut... Kata eskalasi harus diikuti dengan suatu obyek, misalnya "terjadi eskalasi konflik di Poso". Dalam berita Kompas ini, yang ingin dikatakan sebetulnya adalah "penyesuaian harga proyek". Harap diingat, di Indonesia penyesuaian = kenaikan. Dalam artikel tersebut memang ada kutipan dari Direktur Utama PT Wijaya Karya yang menggunakan kata "eskalasi" secara tidak tepat. Yang mengherankan, Kompas sebagai suatu media massa yang pintar kok ikut-ikutan menggunakan kata tersebut secara salah, dan menggunakannya sebagai judul pula....

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/09/01195976/eskalasi.belum.ditetapkan.proyek.pemerintah.terhambat

Ada satu lagi kata eskalasi yang digunakan secara salah hari ini, tapi saya lupa di rubrik yang mana. Akan saya tambahkan kalau nanti sudah ketemu...

Rabu, 02 Juli 2008

Presiden tidak kenal Artalyta ;-)

Judul yang digunakan Kompas untuk berita di halaman utama ini sangat menarik dan tepat sekali. Dari pemberitaan tiga kolom ini yang sesuai dengan judul hanyalah satu kolom, selebihnya membahas mengenai perilaku hakim agung (yang tidak agung).
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/01/23562663/presiden.tak.kenal.artalyta

Andi Mallarangeng, seperti biasa, mati-matian membela tuannya. Manusia ini semakin lama semakin kelihatan kedangkalan cara berpikirnya. Yang menarik bukan itu. Yang menarik adalah bahwa saya sudah lama mendengar "isu" ini dari beberapa teman wartawan, bahkan dengan versi yang jauh lebih heboh. Dengan mengangkatnya sebagai judul berita maka Kompas berhasil mengirimkan sinyal kepada orang-orang yang belum pernah mendengar isu ini.

Kalau masih mempunyai urat malu, Andi harus siap-siap mengambil posisi burung unta yang membenamkan kepalanya ke dalam pasir sementara pantatnya masih tertinggal di luar.

Di teras atau di money changer? Sekali lagi tidak teliti

Sudah lama saya tidak menulis tentang Kompas. Tidak berarti bahwa tidak ada yang perlu dicatat dari pemberitaan Kompas, tetapi lebih pada kesibukan saya yang agak tinggi akhir-akhir ini.

Tapi pagi ini saya tidak dapat menahan diri untuk tidak menulis ketika membaca berita di halaman muka tentang maraknya korupsi di DPR.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/01/23560282/korupsi.diduga.marak.di.dpr

Saya adalah orang yang sangat "visual", sangat cepat tertarik dengan gambar. Karena itu, ilustrasi tentang kronologi penangkapan Buyan Royan menjadi menarik. Komentar saya ketika melihat ilustrasi tersebut adalah "Bukan main bodohnya pola permainan orang ini. Masak tas berisi uang suap ditinggal di teras untuk diambil oleh BR. Teras itu adalah tempat yang sangat terbuka, apalagi teras Plaza Senayan." Komentar itu samasekali tidak bermaksud membenarkan tindakan BR. Sama sekali tidak. Saya seperti membaca novel thriller dan merasa kesal karena tindakan kriminal yang seharusnya "seru" malah ditampilkan secara "bodoh".

Walaupun kesal, saya tetap meneruskan membaca seluruh berita tersebut sampai ke halaman 15. Di situ ada komentar Chandra Hamzah, wakil ketua KPK, bahwa uang tersebut dititipkan oleh penyuap di money changer yang kemudian diambil oleh BR. Sebagai orang yang sangat reseh dengan detail, saya mulai bertanya, bagaimana kejadian yang sebenarnya. Kecuali memang ada money changer di teras Plaza Senayan....yang sangat saya ragukan kemungkinannya.

Jumat, 16 Mei 2008

Green Festival that was not green at all!

Uneg-uneg ini sudah saya tuliskan dalam Surat Pembaca Kompas dan telah dijawab oleh ketua panitia penyelenggara.
Saya lampirkan dua foto yang diambil di arena Green Festival sebagai bahan renungan akhir pekan. Saya tidak habis mengerti bagaimana orang bisa dengan nyaman berbaur dengan sampah, kecuali mereka yang memang karena alasan ekonomi tidak mempunyai pilihan lain.


Orang-orang kota yang berpendidikan tinggi dan mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup....kok bisa ya duduk nyaman, sambil makan pula, dengan sampah bertebaran di sekitarnya. Tangan saya rasanya sudah gatal ingin memungut sampah itu. Yang ironis, sampah-sampah itu beredar di sekitar tong sampah dengan warna mencolok!
Nugroho mengatakan bahwa panitia dibantu oleh Sekolah Alam Cikeas, dan saya memang melihat beberapa anak usia SD yang diberi seragam ini memunguti sampah yang dibuang oleh orang dewasa atau teman-teman sebayanya. Ini tidak mendidik! Yang terjadi, kita mendidik anak-anak SAC menjadi pemulung dan kita mengajarkan pada pengunjung lainnya untuk terus saja membuang sampah karena toh akan dibersihkan oleh anak-anak SAC.
Panitia juga menyediakan panggung musik dengan dukungan listrik ribuan watt yang menurut saya lebih merupakan pemborosan enerji! Lebih baik panggung itu dipakai untuk mengajak orang untuk tidak membuang sampah sembarangan. Tidak sedikit konser "hijau" yang akhirnya hanya menyisakan sampah segunung setelah konser selesai.
Semuanya ini harus dimulai dari pendidikan, di sekolah maupun di rumah.
Anak-anak saya, termasuk dua yang sudah dewasa, sampai saat ini selalu menyimpan sampah di saku bajunya karena tidak tega mengotori bumi tempat mereka menumpang hidup.

Surat KOMPAS kepada pembaca, 14 Mei 2008
Penjelasan Panitia ”Green Festival”
Terkait dengan surat di Kompas (6/5) ”Sampah di Arena Green Festival” yang disampaikan oleh Ibu Louisa Tuhatu perlu disampaikan, banyak kisah serupa yang kami terima. Kesadaran pada isu pemanasan global justru banyak muncul di kalangan anak-anak sehingga anak-anak yang mengajak orangtua menonton, bukan sebaliknya. Dari sekitar 46.000 pengunjung selama tiga hari festival, sekitar 65 persen di antaranya anak-anak.
Kami sengaja memilih kawasan Senayan, Jakarta, sebagai tempat terbuka yang strategis karena letaknya di ”pusat” Jakarta. Namun, karena tingginya suhu udara Jakarta, terutama di siang hari, yang bisa mencapai 29-30 derajat Celsius, tidak bisa lain kami harus menggelar tenda-tenda besar, terutama di bagian-bagian di mana kampanye dalam bentuk panel-panel informasi, poster, flyers, sampai ke tips-tips kecil kami tempatkan.
Ketika kami melakukan simulasi acara memang dihadapkan pada pilihan yang sungguh tidak menguntungkan. Jika menggunakan mesin pendingin atau AC, pesan kampanye seolah berseberangan dengan cara penyelenggaraannya. Namun, tanpa AC, suhu di dalam tenda akan cukup menyengat, apalagi ketika ribuan orang berada di dalamnya secara bersamaan. Dikhawatirkan orang akan kegerahan dan tidak akan tahan berlama-lama berada di dalam tenda.
Padahal, kalau kita tidak nyaman dan tergesa-gesa ingin cepat keluar karena kepanasan, bisa jadi materi kampanye yang kami sajikan tidak akan dicerna dengan baik. Kami terpaksa tetap menggunakan AC, tapi tidak menggunakan freon, melainkan refrigerant gas alam sehingga lebih ramah lingkungan.
Tentang sampah yang bertebaran, harus diakui bukan cuma mengganggu pemandangan, tapi juga merepotkan kami. Selain tenaga kebersihan dari panitia maupun petugas Senayan, kami juga dibantu Sekolah Alam Cikeas yang menurunkan puluhan siswanya untuk menjadi polisi sampah dan polisi disiplin di acara itu. Mereka bekerja tidak henti-henti dari pagi hingga malam. Tempat sampah organik dan anorganik sudah disebar hampir setiap 5 meter. Namun, memang disiplin membuang sampah pada tempatnya masih menjadi persoalan kita bersama.

Nugroho F Yudho
Ketua Panitia Green Festival 2008

Surat Pembaca kepada KOMPAS, 6 Mei 2008
Sampah di Arena ”Green Festival”
Tertarik promosi di radio, putri saya (8 tahun) yang berminat besar pada isu pemanasan global mengajak saya mengunjungi ”Green Festival” di Senayan, Jakarta. Sepanjang perjalanan menuju Senayan, dia berceloteh tentang pemanasan global yang dibaca di internet. Saat masuk area Senayan, dia berkomentar tentang tenda putih yang menjadi ajang pameran, yang menurutnya tidak sesuai dengan semangat ”Green Festival”.
Komentar berikut muncul saat memasuki tenda pertama. Dia melihat kartun Beny & Mice tentang dampak penggunaan AC, sementara kartun itu diletakkan tepat bersebelahan dengan AC besar (standing AC).
Komentar terakhir adalah saat melihat banyak sampah bertebaran di arena festival, apalagi di sekeliling festival dipenuhi penjual makanan.
Anak berusia delapan tahun tidak dapat memahami pesan berseberangan ini. Di satu sisi, ”Green Festival” mengusung isu pelestarian lingkungan dan pemanasan global yang diakibatkan oleh perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab. Di lain sisi, dia melihat banyak sampah plastik yang dibuang orang di arena festival. Seharusnya panitia festival menggunakan ajang itu untuk mengajarkan para penjual makanan, termasuk masyarakat pembeli, tentang penanganan sampah.
Sampah adalah salah satu komponen pengganggu lingkungan bisa ditangani oleh tiap-tiap individu. Sayang, orang cenderung berbicara tentang hal-hal besar dan rumit daripada hal-hal kecil yang bisa dilakukan dengan mudah. Semoga bisa menjadi masukan bagi para penyelenggara acara bertema lingkungan.Louisa Tuhatu Jalan Asem II, Cipete, JakartaSampah di Arena ”Green Festival”
Tertarik promosi di radio, putri saya (8 tahun) yang berminat besar pada isu pemanasan global mengajak saya mengunjungi ”Green Festival” di Senayan, Jakarta. Sepanjang perjalanan menuju Senayan, dia berceloteh tentang pemanasan global yang dibaca di internet. Saat masuk area Senayan, dia berkomentar tentang tenda putih yang menjadi ajang pameran, yang menurutnya tidak sesuai dengan semangat ”Green Festival”.
Komentar berikut muncul saat memasuki tenda pertama. Dia melihat kartun Beny & Mice tentang dampak penggunaan AC, sementara kartun itu diletakkan tepat bersebelahan dengan AC besar (standing AC).
Komentar terakhir adalah saat melihat banyak sampah bertebaran di arena festival, apalagi di sekeliling festival dipenuhi penjual makanan.
Anak berusia delapan tahun tidak dapat memahami pesan berseberangan ini. Di satu sisi, ”Green Festival” mengusung isu pelestarian lingkungan dan pemanasan global yang diakibatkan oleh perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab. Di lain sisi, dia melihat banyak sampah plastik yang dibuang orang di arena festival. Seharusnya panitia festival menggunakan ajang itu untuk mengajarkan para penjual makanan, termasuk masyarakat pembeli, tentang penanganan sampah.
Sampah adalah salah satu komponen pengganggu lingkungan bisa ditangani oleh tiap-tiap individu. Sayang, orang cenderung berbicara tentang hal-hal besar dan rumit daripada hal-hal kecil yang bisa dilakukan dengan mudah. Semoga bisa menjadi masukan bagi para penyelenggara acara bertema lingkungan.
Louisa Tuhatu
Jalan Asem II, Cipete, Jakarta

Perdamaian atau pemusnahan?

Sudah dua hari berturut-turut Kompas mengangkat liputan konferensi internasional tentang Palestina yang diadakan di UI, Depok. Liputan hari pertama bahkan muncul di halaman utama.

http://kompas.co.id/kompascetak.php/read/xml/2008/05/15/01072588/palestina.bukan.konflik.agama http://kompas.co.id/kompascetak.php/read/xml/2008/05/16/00171950/perundingan.tidak.akan.bawa.hasil

Saya sangat tidak paham dengan konflik ini, karena itu saya tidak ingin berkomentar mengenai substansi perkara. Saya lebih condong melihat hal-hal yang menyangkut logika dan komunikasi.

Abdillah Thoha dari Komisi I DPR mengatakan tidak yakin akan ada perubahan dalam proses perdamaian Israel-Palestina dalam waktu dekat karena Israel hanya mengenal bahasa kekerasan. Saya bingung, karena persis di sebelah berita ini ada foto yang menggambarkan para petugas darurat Israel bergegas membawa perempuan Israel yang cedera akibat serangan roket dari kawasan Jalur Gaza. Menurut saya, bahasa kekerasan bukan monopolinya Israel. Ia digunakan oleh kedua belah pihak.

Ucapan lain yang juga membingungkan datang dari Salim Nazzal, sejarawan Palestina dari Norwegia. Ia mengatakan perdamaian tidak bisa dicapai dengan paksaan, dan AS tidak boleh lagi memperlihatkan perlakuan yang berbeda terhadap Israel dan Palestina. Anehnya, di kalimat berikutnya ia mengatakan bahwa perpecahan di kalangan Palestina menyulitkan usaha untuk "mengalahkan" Israel. Pernyataan mengerikan ini masih ditambah lagi dengan pernyataan yang diutarakan peserta unjuk rasa solidaritas terhadap Palestina di Solo yang menuntut Israel "dihapuskan" dari peta dunia. Ngeri....

Sebenarnya apa sih yang ingin dicapai? Perdamaian atau pemusnahan salah satu?

Negara besar

Sudah lamaaaaa sekali saya tidak mengisi blog saya. Jari ini rasanya tidak mau diajak menari. Tapi pagi ini saya seperti mendapat semangat ketika membaca halaman 10 Kompas tentang Palestina.

http://kompas.co.id/kompascetak.php/read/xml/2008/05/16/00171950/perundingan.tidak.akan.bawa.hasil

Ada banyak catatan tentang konferensi "internasional" tentang Palestina yang akan saya bahas di halaman lain.

Kali ini saya lebih tersentil ketika membaca kalimat "Sebagai negara besar, Indonesia seharusnya......"
Kalimat ini sangat sering digunakan pejabat, pengamat, politikus, dll. Bagi saya, ia sudah menjadi mantra yang menidurkan kita. Mantra ini hanya membuat kita semakin malas, semakin santai, karena kita merasa sudah "besar" sehingga tidak perlu lagi bekerja.
Coba kita simak "kebesaran" Indonesia: besar jumlah penduduknya, utangnya, penduduk miskinnya, korupsinya, polusinya, perusakan atas nama agama, pengangguran, anak putus sekolah, dll, dll.
Patutkah kita berbangga karenanya??

Selasa, 04 Maret 2008

Serangan balasan ke Jalur Gaza

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.04.0217551&channel=2&mn=157&idx=157

Dalam rubrik Internasional (yang dalam www.kompas.com ditulis sebagai International) saya melihat foto yang termasuk langka. Di sini ditampilkan foto warga Israel yang berlari ke tempat perlindungan untuk menghindari serangan roket Hamas dari Jalur Gaza. Foto yang biasa ditampilkan adalah mengenai keluarga Palestina yang sedang menangisi anggota keluarganya yang menjadi korban pengeboman Israel.

Saya tidak mempunyai preferensi dan tidak mempunyai keterkaitan emosional dalam kasus Israel-Palestina. Tetapi, saya tidak merasa nyaman melihat kecenderungan pemberitaan yang lebih menampilkan Palestina sebagai "korban". Pengetahuan saya mengenai konflik ini sangat minim, umumnya saya dapatkan dari membaca berita di koran. Yang saya tahu, seringkali dikatakan bahwa Israel melakukan serangan balasan terhadap Palestina. Jadi, sifatnya adalah balasan. Dengan pernyataan ini saya sama sekali tidak bermaksud membenarkan tindakan Israel, tetapi kita juga harus bisa mendudukan permasalahan pada tempatnya.

Setelah 5 hari menggempur Jalur Gaza, Israel akhirnya menghentikan serangan itu. Dan yang lucunya, juru bicara Hamas langsung mendeklarasikan kemenangan atas Israel karena berhasil memaksa hengkang musuh. Lucu sekali.

Akurasi dalam pemberitaan

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.04.02082641&channel=2&mn=159&idx=159

Sejak kemarin Kompas (dan pastinya juga semua media massa) heboh mengangkat berita tentang tertangkapnya jaksa Urip oleh KPK. Hari ini pemberitaan seputar kasus itu masih terus berlanjut, bahkan lebih lengkap. Detil proses penangkapan, yang kemarin belum sempat tertulis, hari ini sudah mulai muncul. Opini dan ulasan kasus juga ditampilkan.
Tetapi ada satu hal yang sangat mengganggu setelah saya membaca semua berita dan ulasan tersebut. Dalam semua pemberitaan disebutkan "Urip tertangkap di sebuah rumah di kawasan elite Simprug, Jakarta Selatan, Minggu petang. Rumah itu disebut-sebut milik Sjamsul Nursalim, taipan yang kini sering bermukim di Singapura."

Sementara, dalam berita yang menampilkan kronoligis penangkapan jaksa Urip jelas disebutkan bahwa Urip ditangkap petugas KPK di depan rumah Nursalim setelah mobilnya ditabrak mobil petugas KPK dan Urip dipaksa keluar.

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.04.02041510&channel=2&mn=154&idx=154

"Beberapa anggota tim KPK yang sudah berada di kawasan Simprug sejak pukul 14.00 pun merapat ke rumah itu. Sekitar pukul 16.30, mobil Urip keluar. Tanpa membuang waktu, mobil-mobil KPK memepet mobil Urip yang saat itu melawan. Mobil Urip ditabrak dari belakang sehingga bempernya penyok. Ia baru menyerah diborgol ketika empat personel Brimob yang memburunya menjatuhkan dirinya ke jalan aspal dan menekan kepalanya agar ia tak bisa bergerak lagi. Warga yang melihat keributan di depan rumah Nursalim pun melapor kepada Ketua RT 06 RW 08 Sambio yang bergegas datang."

Menurut saya, ada perbedaan besar antara pernyataan "ditangkap di rumah Nursalim" dengan "ditangkap setelah keluar dari rumah Nursalim". Pernyataan "tertangkap di rumah seseorang" tepat digunakan dalam kasus Irawady Joenoes, tetapi tidak tepat digunakan dalam kasus Urip.

KPK menyuap jaksa?

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.04.02070333&channel=2&mn=154&idx=154

"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono prihatin dengan tertangkapnya seorang jaksa yang diduga terkait penyuapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK." Inilah kalimat pembuka yang muncul dalam lead berita utama Kompas hari ini. Pemahaman saya ketika membaca kalimat ini adalah seorang jaksa tertangkap (atau ditangkap) karena menyuap KPK.
Untuk menghindari salah tafsir, saya akan mengubah kalimat tersebut menjadi: "Presiden Susilo Bambang Yudhoyono prihatin atas tertangkapnya seorang jaksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan penyuapan."

Selain masalah bahasa di atas, pernyataan Andi Mallarangeng bahwa peristiwa ini menegaskan kembali komitmen SBY untuk memerangi korupsi terdengar sangat lucu. Kelihatannya kubu SBY sedang berusaha menggunakan segala kesempatan untuk mengangkat pamor si bapak.

Kalau ada yang ditangkap, berarti ada yang melakukan. Kalau tidak ada yang ditangkap, berarti tidak ada yang melakukan. Berarti pemerintahan lama jauh lebih bersih karena tidak ada yang ditangkap (atau tertangkap). Logika ini juga bisa digunakan oleh pemerintahan pra SBY, bukan?

Senin, 18 Februari 2008

Mengapa Papua tetap miskin?

http://kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.18.01384644&channel=2&mn=12&idx=12

Paragraf terakhir dalam artikel yang menarik ini berbunyi: Gubernur Papua Barnabas Suebu menyatakan, kondisi Papua saat ini paradoksal. Meskipun menerima dana yang sangat besar dari pemerintahpusat, namun 80 persen penduduk Papua masih miskin dan berada di bawah garis kemiskinan. Ini diperparah dengan pengelolaan anggaran yang selama ini diakui kurang baik, tidak transparan. "Akibatnya, mereka hidup miskin di atas kekayaan mereka sendiri," ujar Barnabas.

Saya tidak mengerti mengapa wartawan Kompas tidak berusaha memancing pernyataan lebih banyak dari Suebu karena pastilah menarik untuk mengetahui alasan kesalahan pengelolaan anggaran di Papua. Suebu adalah pejabat, seorang gubernur. Ia ikut bertanggung jawab atas kesalahan itu. Ke mana larinya uang yang begitu besar? Siapa yang melakukan penggelapan? Apa tindakan yang akan diambil? Bagaimana perencanaan pembangunan di Papua menurut Suebu? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu lah yang lebih menarik. Dan, sayangnya, Kompas gagal menampilkannya.

Sabtu, 09 Februari 2008

Orientasi pada kekuasaan

Kelakuan orang-orang yang menamakan dirinya politikus (tikus yang banyak...) atau aktivis (aktif bicara...) semakin membuat saya muak. Mereka kebanyakan adalah orang-orang pintar, sebagian bahkan menyandang gelar akademis dengan banyak "S".

Menjelang tahun 2009, di mana akan digelar perhelatan akbar dengan biaya triliunan rupiah untuk memperlihatkan kepada dunia luar bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, partai politik bersama para pengamat politik dan aktivis mulai ramai memperbincangkan wacana ambang batas perolehan kursi di parlemen. Ya, isu utamanya adalah KURSI! Dan kursi ini berhubungan erat dengan kekuasaan.

Kompas hari ini menyebutkan usulan empat partai besar (Golkar, PDIP, PKB dan PKS) untuk meningkatkan ambang batas menjadi 2,5-3 persen. http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.09.04292982&channel=2&mn=12&idx=12 Usulan yang sebetulnya masuk akal kalau melihat bahwa banyak partai kecil yang hanya meraup suara sangat sedikit ternyata diuntungkan dengan sistem perhitungan suara yang berlaku saat ini.

Yang bagi saya sangat menggelikan, atau lebih tepatnya memuakkan, adalah argumentasi Dita Indah Sari dari Partai Persatuan Pembebasan Nasional. Kutipannya <>

Pernyataan tersebut hanya membuktikan bahwa orientasi dari pendirian partai politik hanyalah kursi, bukan untuk memperjuangkan idealisme atau kepentingan konstituen. Dita jelas mengakui bahwa DPR cenderung satu suara dalam keputusan-keputusan penting sehingga jumlah partai tidak terlalu menjadi masalah. Itu berarti, tidak ada manfaatnya partai-partai kecil duduk di DPR. Jadi, mengapa ia harus menolak penerapan ambang batas yang leibh tinggi??

Kembali ke KURSI!

Sabtu, 02 Februari 2008

Tajuk Rencana yang tidak jelas

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.02.07484084&channel=2&mn=11&idx=11

Pagi ini acara minum kopi saya agak terganggu gara-gara membaca Tajuk Rencana. Rasanya saya menjadi orang yang sangat bodoh karena tidak bisa menangkap arah dan tujuan TR yang berjudul "Peduli Moral Bangsa". Judulnya saja sudah aneh, apalagi setelah membaca paragraf pertama yang menggunakan wacana pemberian gelar (dan tidak disebutkan gelar apa!) bagi almarhum Soeharto. Kemudian paragraf ke dua masuk kepada pertemuan tokoh-tokoh agama di Lampung yang menyerukan revolusi mental budaya, dll. Tidak jelas apa hubungannya.

Paragraf 4 memuat pokok pikiran yang kontradiktif, menurut saya. Di satu sisi dikatakan bahwa dalam masyarakat modern agama dikembalikan pada spiritualisme yang sifatnya pribadi. Tetapi juga dikatakan bahwa agama sering tampil sebagai pendukung kemapanan, dll.

Kemudian muncul paragraf 5 dan 6 yang semakin tidak jelas arahnya. Seakan TR ini dibuat oleh seseorang yang mengantuk atau mabuk.

Agama tidak sama dengan moral, walaupun agama mengandung banyak pesan moral. Yang terjadi selama ini adalah akibat dari dilembagakannya agama, tampak jelas dengan adanya Departemen Agama. Konflik horisontal yang berlangsung selama bertahun-tahun juga adalah akibat dari menjadi publiknya agama. Saya selalu berpandangan bahwa agama adalah urusan privat seseorang dengan khaliknya. Masyarakat adalah kumpulan dari individu. Jadi, kalau setiap individu berusaha menjadi baik dengan mengamalkan ajaran agamanya pada dirinya sendiri saja, akan terbentuklah masyarakat yang baik. Ini adalah pemikiran sederhana saya.

Yang terjadi saat ini adalah orang sibuk memperhatikan dan menilai orang lain. Maka itu banyak terjadi perusakan atas nama agama "Karena mereka tidak menjalankan ajaran agama dengan benar".

Seruan Kompas pada paragraf terakhir untuk "perlunya perhatian pada moralitas bangsa" terdengar sangat janggal. Bagaimana kita mendefinisikan "moralitas bangsa"???? Apalagi kemudian dikaitkan dengan wacana pemberian gelar pahlawan untuk almarhum Soeharto.....