Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Selasa, 04 Maret 2008

Serangan balasan ke Jalur Gaza

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.04.0217551&channel=2&mn=157&idx=157

Dalam rubrik Internasional (yang dalam www.kompas.com ditulis sebagai International) saya melihat foto yang termasuk langka. Di sini ditampilkan foto warga Israel yang berlari ke tempat perlindungan untuk menghindari serangan roket Hamas dari Jalur Gaza. Foto yang biasa ditampilkan adalah mengenai keluarga Palestina yang sedang menangisi anggota keluarganya yang menjadi korban pengeboman Israel.

Saya tidak mempunyai preferensi dan tidak mempunyai keterkaitan emosional dalam kasus Israel-Palestina. Tetapi, saya tidak merasa nyaman melihat kecenderungan pemberitaan yang lebih menampilkan Palestina sebagai "korban". Pengetahuan saya mengenai konflik ini sangat minim, umumnya saya dapatkan dari membaca berita di koran. Yang saya tahu, seringkali dikatakan bahwa Israel melakukan serangan balasan terhadap Palestina. Jadi, sifatnya adalah balasan. Dengan pernyataan ini saya sama sekali tidak bermaksud membenarkan tindakan Israel, tetapi kita juga harus bisa mendudukan permasalahan pada tempatnya.

Setelah 5 hari menggempur Jalur Gaza, Israel akhirnya menghentikan serangan itu. Dan yang lucunya, juru bicara Hamas langsung mendeklarasikan kemenangan atas Israel karena berhasil memaksa hengkang musuh. Lucu sekali.

Akurasi dalam pemberitaan

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.04.02082641&channel=2&mn=159&idx=159

Sejak kemarin Kompas (dan pastinya juga semua media massa) heboh mengangkat berita tentang tertangkapnya jaksa Urip oleh KPK. Hari ini pemberitaan seputar kasus itu masih terus berlanjut, bahkan lebih lengkap. Detil proses penangkapan, yang kemarin belum sempat tertulis, hari ini sudah mulai muncul. Opini dan ulasan kasus juga ditampilkan.
Tetapi ada satu hal yang sangat mengganggu setelah saya membaca semua berita dan ulasan tersebut. Dalam semua pemberitaan disebutkan "Urip tertangkap di sebuah rumah di kawasan elite Simprug, Jakarta Selatan, Minggu petang. Rumah itu disebut-sebut milik Sjamsul Nursalim, taipan yang kini sering bermukim di Singapura."

Sementara, dalam berita yang menampilkan kronoligis penangkapan jaksa Urip jelas disebutkan bahwa Urip ditangkap petugas KPK di depan rumah Nursalim setelah mobilnya ditabrak mobil petugas KPK dan Urip dipaksa keluar.

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.04.02041510&channel=2&mn=154&idx=154

"Beberapa anggota tim KPK yang sudah berada di kawasan Simprug sejak pukul 14.00 pun merapat ke rumah itu. Sekitar pukul 16.30, mobil Urip keluar. Tanpa membuang waktu, mobil-mobil KPK memepet mobil Urip yang saat itu melawan. Mobil Urip ditabrak dari belakang sehingga bempernya penyok. Ia baru menyerah diborgol ketika empat personel Brimob yang memburunya menjatuhkan dirinya ke jalan aspal dan menekan kepalanya agar ia tak bisa bergerak lagi. Warga yang melihat keributan di depan rumah Nursalim pun melapor kepada Ketua RT 06 RW 08 Sambio yang bergegas datang."

Menurut saya, ada perbedaan besar antara pernyataan "ditangkap di rumah Nursalim" dengan "ditangkap setelah keluar dari rumah Nursalim". Pernyataan "tertangkap di rumah seseorang" tepat digunakan dalam kasus Irawady Joenoes, tetapi tidak tepat digunakan dalam kasus Urip.

KPK menyuap jaksa?

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.04.02070333&channel=2&mn=154&idx=154

"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono prihatin dengan tertangkapnya seorang jaksa yang diduga terkait penyuapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK." Inilah kalimat pembuka yang muncul dalam lead berita utama Kompas hari ini. Pemahaman saya ketika membaca kalimat ini adalah seorang jaksa tertangkap (atau ditangkap) karena menyuap KPK.
Untuk menghindari salah tafsir, saya akan mengubah kalimat tersebut menjadi: "Presiden Susilo Bambang Yudhoyono prihatin atas tertangkapnya seorang jaksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan penyuapan."

Selain masalah bahasa di atas, pernyataan Andi Mallarangeng bahwa peristiwa ini menegaskan kembali komitmen SBY untuk memerangi korupsi terdengar sangat lucu. Kelihatannya kubu SBY sedang berusaha menggunakan segala kesempatan untuk mengangkat pamor si bapak.

Kalau ada yang ditangkap, berarti ada yang melakukan. Kalau tidak ada yang ditangkap, berarti tidak ada yang melakukan. Berarti pemerintahan lama jauh lebih bersih karena tidak ada yang ditangkap (atau tertangkap). Logika ini juga bisa digunakan oleh pemerintahan pra SBY, bukan?