Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Selasa, 11 Desember 2007

Kompas sekali lagi tidak teliti!

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/11/Politikhukum/4074877.htm

Kecewa sekali saya membaca halaman 4 hari ini. Nama "Monsanto" ditulis sebagai "Mosanto", dan ini muncul berkali-kali. Yang paling parah, kesalahan ini sudah tampak di headline! Monsanto bukan lah kata yang asing, seharusnya.
Saya juga kecewa melihat Kompas dengan mudahnya menggunakan kata "cek dan ricek". Kalaupun kata itu benar diucapkan oleh Muhammad Salim dari Kejaksaan Agung, saya tetap merasa Kompas tidak sepantasnya menuliskan kata tersebut. Apakah tidak ada padanan kata dalam bahasa Indonesia yang bisa menjelaskan kata "check" dan "recheck"??

Akhir tahun yang masih sama

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/11/utama/4075129.htm

Dua hari saya tidak bisa membaca Kompas karena berbagai sebab. Menyedihkan....
Pagi ini saya melihat Kompas sudah mulai menulis Laporan Akhir Tahun. Satu tahun yang lalu saya juga membaca Laporan Akhir Tahun, dan rasanya tidak ada perbedaan bermakna dari laporan kali ini. Bahkan mungkin lebih memilukan karena saya, tadinya, berharap pemerintah akan lebih banyak berkarya tahun ini. Pemerintahan baru selalu mengatakan bahwa tahun-tahun pertama merupakan tahun adaptasi, tahun-tahun terakhir adalah tahun persiapan perang. Tahun 2007, sebagai tahun pertengahan masa pemerintahan, seharusnya merupakan tahun berkarya.

Kemarin sore saya berbincang-bincang dengan Kartono Mohamad sambil minum kopi. Dari berbagai indikator yang kami bicarakan akhirnya kami kembali pada kesimpulan lama bahwa negara ini adalah negara seremoni. Berbagai kampanye mulia, mulai dari imunisasi, HIV/AIDS, penggalakan ASI, osteoporosis sampai pada flu burung, hanya berhenti di upacara. Saya ngeri membayangkan jumlah uang yang dihabiskan untuk berbagai upacara tersebut. Mungkin yang paling menggelikan, bagi saya, adalah kegiatan yang sangat superfisial seperti Stands Up Against Poverty dan Lights On sebagai bagian dari kampanye anti narkoba. Saya belum bisa mengerti bagaimana suatu upacara berdiri beberapa menit dapat menghapuskan kemiskinan. Saya juga tidak paham hubungan menyalakan lampu mobil di siang hari pada satu hari tertentu dengan pemberantasan narkoba.

Betul sekali yang diungkapkan Politika hari ini, pemimpin itu tugasnya adalah berbuat, bukan bertanya. Saya ingin menambahkan: pemimpin itu tugasnya berbuat, bukan berkeluh kesah; memimpin rakyat, bukan menciptakan lagu.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/11/utama/4075407.htm

Jumat, 07 Desember 2007

Pengalihan penggunaan BBM: kebijakan staccato

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/07/utama/4051802.htm

Berita mengenai ketidaksiapan masyarakat (maksudnya pasti adalah masyarakat kota Jakarta karena kebijakan pengalihan jenis BBM ini hanya berlaku di Jakarta) menarik untuk dibaca. Masalahnya, seperti juga "kebijakan" yang lalu-lalu, kebijakan pengalihan jenis BBM ini tidak tampak bijak karena dibuat secara impulsif, tanpa pemikiran yang menyeluruh, dan tidak merupakan bagian dari rencana besar (yang mungkin juga tidak pernah ada). Kebijakan yang staccato pasti menciptakan kejutan-kejutan tidak nyaman. Pemerintah sepertinya lebih banyak melamun (atau menciptakan lagu) sehingga lalai membuat perencanaan. Saya tidak tahu kapan pemerintah bisa duduk bersama untuk membahas masalah transportasi secara menyeluruh. Mereka (pemerintah) selalu menyuruh kami (rakyat) beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Tapi, mereka tidak pernah menyiapkan kendaraan umum yang layak dikendarai. Saya tidak akan pernah mau menyerahkan nyawa saya kepada supir metromini atau bis yang ugal-ugalan.

Saya setuju dengan Fauzi Bowo yang mencela pemerintah pusat karena tidak berkoordinasi dengan pemprov DKI Jakarta. Sekali lagi, hal ini menunjukkan kelemahan pemerintah dalam membuat kebijakan. Saya tidak mau bapak saya datang ke rumah saya dan seenaknya mengganti warna rumah saya, walaupun ia adalah bapak saya sendiri.

Ada ketidaktelitian dalam berita ini mengenai perbandingan penggunaan premium dan pertamax. Dikatakan: Pada masa transisi pengalihan BBM akan ada penurunan omzet SPBU. Pembelian di hari-hari pertama diperkirakan bakal sepi. Saat ini perbandingan pembelian premium dan pertamax 1:10. Saya bingung di sini. Yang saya tahu, pembelian premium jauh lebih tinggi daripada pertamax. Kenapa perbandingannya kok malah 1:10? Bukan kah seharusnya 10:1?

Selain itu, paragraf terakhir berita ini mengenai dampak kenaikan harga BBM terhadap nelayan seperti jatuh dari langit. Sedari awal berita ini hanya membahas masalah pengalihan penggunaan BBM di Jakarta, mengapa tiba-tiba ada nelayan?

Kamis, 06 Desember 2007

Kalla, sekali lagi

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/06/Politikhukum/4049054.htm

Saya akan sangat terlihat seperti pendukung Kalla karena sekali lagi saya ingin menyetujui ucapannya di Kompas halaman 5. Dana sebesar 149 triliun rupiah untuk pemilihan umum lebih tepat disebut sebagai pil pahit yang harus ditelan seluruh rakyat lintas sosial.
Mungkin latar belakang Kalla sebagai pengusaha telah membuatnya menjadi sangat memperhatikan efisiensi penggunaan uang. Usulannya mengenai efisiensi anggaran pemilu sangat mencerminkan karakter pengusaha, yaitu mendaur ulang barang-barang yang masih bisa digunakan. Memang aneh kalau setiap kali pemilu kita harus membeli komputer baru, alat komunikasi baru, kotak suara baru, kendaraan dinas baru, dll. Itu adalah barang-barang yang masih bisa digunakan. Disain dan ukuran kertas suara juga merupakan pemborosan yang tidak menambah nilai pada hasil pemilu.
Kalla mengatakan bahwa kita tidak bisa 100% menduplikasi gaya demokrasi di negara lain. Seperti yang saya tulis kemarin, tidak ada satu definisi baku mengenai demokrasi, begitu juga tidak ada satu gaya baku untuk demokrasi. Menurut saya, unsur yang selalu ada dalam demokrasi adalah "rakyat" atau "demos". Unsur ini lah yang seharusnya menjadi fokus perhatian setiap pemerintahan yang menyebut dirinya demokratis.
Keberanian Kalla menyampaikan pendapat dan pikirannya ini juga mungkin didukung oleh kekuatan finansialnya sebelum terjun ke politik. He has nothing to lose, kata orang.

Uang pribadi atau uang negara

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/06/Politikhukum/4049168.htm

Politik itu memang membingungkan. Ia tidak mempunyai prosedur operasi standar, sifatnya seperti air yang selalu menyesuaikan diri dengan wadah. Itu lah yang saya rasakan ketika membaca berita Kompas tentang sumbangan untuk partai politik.
Hadar Gumay khawatir bahwa perubahan batas maksimum sumbangan pribadi dan badan usaha akan menyebabkan partai politik dikuasai oleh pemilik modal atau orang kaya. Saya, sebagai pembayar pajak, justru khawatir kalau peraturan soal sumbangan ini tidak diubah karena partai politik kemudian akan berteriak minta bantuan dana dari pemerintah. Ujung-ujungnya, uang pajak saya akan dipakai untuk mendanai kegiatan partai politik yang tidak jelas juntrungannya. Saya setuju dengan Idurs Marhan yang mengatakan adalah wajar jika anggota parpol menyumbang semaksimal mungkin demi partainya.
Partai politik harus lah independen, tidak boleh menerima dana sepeserpun dari pemerintah. Partai politik bukan badan usaha milik negara. Lebih baik uang tersebut digunakan untuk menguatkan peran koperasi nelayan dan petani.
Kalau tidak salah, di Amerika Serikat, negara yang selalu kita jadikan kiblat demokrasi, selalu dikatakan bahwa orang sebaiknya menjadi kaya dulu baru terjun ke politik. Maksudnya adalah supaya ia tidak menggunakan partai politik sebagai sarana memperkaya diri.
Di Indonesia ada puluhan partai politik. Jadi, orang bisa mudah memilih partai yang dirasakan sesuai dengan prinsipnya, termasuk juga memilih untuk tidak memilih partai. Dalam partai politik pasti ada mekanisme pemungutan suara atau rapat untuk memutuskan sesuatu. Gunakan mekanisme ini untuk menyatakan ketidaksetujuan. Mungkin ada kekhawatiran bahwa yang kaya bisa membeli suara yang miskin, tetapi tetap tidak dapat dijadikan alasan untuk menghalangi si kaya menyumbang partainya. Yang harus dilakukan Cetro adalah mendidik orang miskin untuk tidak mudah menjual suaranya.

Makan dan merokok

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/06/utama/4049589.htm

Kompas tepat sekali menampilkan berita tentang Boris di halaman muka dan berita tentang perayaan hari pangan sedunia di halaman 15. Dua berita ini mengandung pesan yang bertentangan, kemiskinan dan kemakmuran.

Presiden, ditampilkan dalam foto berjejer menggunakan baju seragam khas orde baru, tampil penuh percaya diri di Lampung. Ia mengatakan bahwa upaya dan kerja keras sudah membuahkan hasil, di antaranya pada program peningkatan produksi beras nasional 2 juta ton yang dilakukan pada awal 2007. Ia juga menyerahkan berbagai macam bantuan untuk petani dan peternak sebesar 411 miliar rupiah, 4000 ekor sapi, 7050 ton benih padi, 3850 ton benih jagung, 4030 kendaraan roda dua dan 63 kendaraan roda empat. Saya bingung....kaya sekali presiden kita ini ya... Kalau itu uang negara, mengapa tidak disalurkan melalui departemen yang menangani masalah tersebut?

Boris, sang nelayan, masih tercekik hutang yang sudah mencapai 17 juta + 1,4 juta. Semua itu gara-gara biaya BBM yang meningkat, jumlah nelayan yang bertambah, serta populasi ikan yang merosot. Orang dungu pun pasti bisa langsung mengatakan bahwa Boris akan "rugi bandar" karena pendapatan sekali melaut selama seminggu paling-paling hanya 50.000 ribu rupiah. Yang menyedihkan dari cerita si Boris adalah ketika Kompas menjabarkan biaya yang dihabiskan untuk sekali melaut yang mencapai 4,8 juta. Ada komponen "makan dan rokok" sebesar 1 juta rupiah. Bukan main...bahkan nelayan miskin seperti Boris masih rela menyisihkan uangnya, yang tidak seberapa, untuk membeli rokok. Bagaimana mungkin pemerintah masih tidak bisa melihat bahaya sebatang rokok? Sudah pasti Boris tidak membeli Marlboro yang mahal, mungkin hanya Jambu Bol. Tetapi, dampak kesehatan yang akan diterima penghisap Marlboro dan Jambu Bol tidak berbeda. Kanker paru tidak mengenal status sosial.

Pemerintah sibuk melakukan kampanye melawan narkoba. Mengapa tidak sekalian melakukan kampanye anti rokok? Penelitian sudah membuktikan bahwa rokok merupakan pintu masuk kepada narkoba. Nikotin di dalam rokok mempunyai sifat adiksi yang tidak kalah dengan candu. Rokok bahkan lebih berbahaya karena sangat mudah diperoleh, kadang-kadang malah dibagikan gratis oleh produsen rokok. Setiap orang bisa membeli rokok. Kebiasaan merokok juga menciptakan masyarakat yang egois, tidak peduli pada orang lain. Perokok dengan tenangnya mengebulkan asap tanpa memandang lingkungan sekelilingnya. Bukan hal yang aneh melihat seorang bapak merokok di samping istrinya yang sedang menggendong bayi. Ia tidak peduli kalau asap rokok yang penuh racun itu terhisap oleh istri dan anaknya.

Gerakan anti rokok ini harus didukung semua pihak. Kalau pemerintah mau berpikir jernih dan tidak mempedulikan "lobby" perusahaan rokok, akan terlihat bahwa penghasilan ekonomi yang diperoleh dari rokok tidak seimbang dengan dampak sosial dan kesehatan yang ditimbulkannya. Media besar seperti Kompas juga harus lebih serius mengangkat isu ini. Memang agak sulit karena perusahaan rokok mempunyai dana iklan yang luar biasa besarnya.

Selasa, 04 Desember 2007

Demokrasi, Cara atau Bukan Cara

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/04/Politikhukum/4045104.htm
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/04/opini/4045987.htm

Pernyataan Jusuf Kalla dan Adnan Buyung Nasution di Kompas hari ini menarik untuk disimak. Saya setuju dengan pernyataan Kalla yang menjadi judul berita, yaitu bahwa bangsa ini lemah dalam soal implementasi.

"Dalam soal menggelar seminar, sampai membuat aturan perundangan, Indonesia tidak kalah, bahkan unggul dari negara-negara lain. Sekiranya kemajuan suatu negara diukur dari banyaknya keputusan presiden, keputusan menteri, dan seminar, saya kira negara kita patut diacungi jempol. Namun, semua itu bergantung pada pelaksanaannya," kata Kalla.

Hmm...kalau saja berkas seminar, naskah rancangan undang-undang, lembar-lembar keputusan presiden dll bisa menjadi komoditi ekspor, mungkin kita tidak perlu lagi bergantung pada ekspor migas.

"Ada beberapa hal yang tidak bisa diubah, yaitu kitab suci. UUD saja bisa diubah untuk kepentingan rakyat, apalagi keputusan menteri," ujar Kalla lagi. Dan, ucapan ini pun sangat masuk di akal saya.

Sebaliknya, opini Adnan Buyung di halaman 6 terasa penuh kemarahan dan menyiratkan pandangan yang merasa paling benar.

Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla di dalam pidato politiknya pada penutupan Rapimnas Partai Golkar di Jakarta, 25 November 2007, yang menjadi kesimpulan partai bahwa demokrasi hanyalah cara, alat, atau proses dan bukan tujuan sehingga bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan kesejahteraan rakyat (Kompas, 26/11/2007), amat mengejutkan dan perlu dikoreksi. Karena bukan saja salah, tetapi bisa menyesatkan persepsi masyarakat tentang makna demokrasi yang sedang kita bangun di era Reformasi ini.
Itulah paragraf pertama dari tulisan Buyung.
Reaksi saya waktu membaca ucapan Kalla juga sama dengan reaksi Buyung: terkejut. Tetapi saya terkejut karena ucapan tersebut keluar dari pejabat pemerintah, orang nomor 2 di republik ini. Buat saya, ini adalah suatu ucapan yang sangat berani dan pintar. Buyung terkejut karena ucapan Kalla ini seperti menihilkan perannya sebagai "pejuang demokrasi". Kalau Buyung mengatakan bahwa ucapan Kalla perlu dikoreksi, ia seperti mengatakan bahwa Kalla salah dan Buyung benar. Ini sangat tidak demokratis. Bukankah sebagai pejuang demokrasi ia selalu menjunjung tinggi perbedaan pendapat dan kebebasan mengemukakan pendapat?

Saya melihat Buyung mendefinisikan demokrasi secara sempit yaitu berhenti pada kebebasan berpendapat. Ketika saya mengetik kata democracy+definition di mesin pencari google, saya mendapatkan 2.020.000 link. Yang paling menarik adalah yang tercantum di wikipedia "No universally accepted definition of 'democracy' exists, especially with regard to the elements in a society which are required for it."

Pernyataan ini ternyata diambil dari survey majalah the Economist yang menyatakan:
Almost half of the world's countries can be considered democracies, but only 28 qualify as “full democracies”. There is no consensus on how to measure democracy, definitions of democracy are contested and there is an ongoing lively debate on the subject. Although the terms “freedom” and “democracy” are often used interchangeably, the two are not synonymous. Freedom is an essential component of democracy, but not sufficient. The Economist Intelligence Unit’s Democracy index is based on five categories: electoral process and pluralism; civil liberties; the functioning of government; political participation; and political culture.
Sejak era reformasi, kata "demokrasi" sudah menjadi ayat suci yang dielu-elukan para pengamat dan politikus. Padahal, ada elemen "the functioning of government" yang terlupakan di sini. Lihat saja, dari 28 negara yang dikategorikan sebagai negara full democracy, Swedia menduduki peringkat pertama dengan indeks 9,88 (angka tertinggi adalah 10). Dan kita semua tahu bagaimana kesejahteraan sosial di Swedia. Kita, dengan segala keriuhan mengenai demokrasi, bahkan tidak berhasil menatap muka rakyat di Porong yang merana karena masa depannya telah tertimbun lumpur Lapindo. Ada di mana kita, ada di mana Buyung, ada di mana pemerintah ketika rakyat Porong berteriak meminta tolong.

Jadi, memang benar apa yang dikatakan Kalla. Bangsa ini lemah dalam hal implementasi, kita lemah dalam mengimplementasi demokrasi.

Berita Komnas HAM membuang ruang

Kompas halaman 2 memuat dua berita tentang Komnas HAM yang sebetulnya bisa disatukan. Wartawannya sama (JOS), topiknya sama, narasumbernya sama, dan rasanya juga dibuat berdasarkan peristiwa yang sama yaitu pengaduan kelompok minoritas muslim Bangil ke Komnas HAM di Jakarta.

Saya pernah mendengar dari teman wartawan Kompas yang mengeluh beritanya sering dipangkas atau tidak bisa muat karena keterbatasan ruang. Jadi, mengapa Kompas harus menurunkan berita ini dalam dua segmen?

19 tahun untuk pemenggal kepala?

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/04/utama/4046775.htm

Miris rasanya hati saya membaca berita ini karena hukuman yang diberikan kepada pemenggal kepala 3 siswi di Poso ini terasa tidak tepat. Saya termasuk orang yang tidak setuju dengan hukuman mati karena tidak ada seorang pun di dunia ini yang berhak mencabut nyawa orang lain kecuali Dia yang memberikan nyawa. Begitu juga halnya dengan para pemenggal kepala. Mereka tidak mempunyai hak secuil pun untuk mencabut nyawa ketiga siswi tak bersalah ini. Apa pun alasannya!
Karena itu, 19 tahun rasanya terlalu ringan. Dengan berbagai macam remisi dan potongan hukuman yang tak masuk akal, mereka bisa bebas dalam waktu kurang dari 10 tahun.

Kegalauan ini selalu muncul setiap kali membaca berita tentang pengurangan masa tahanan. Pemerintah c.q Departemen Hukum dan Perundang-undangan terlalu royal memberikan remisi tanpa memandang jenis kejahatan. Bayangkan, seorang Tommy Soeharto yang terbukti memerintahkan pembunuhan seorang hakim agung dan telah membuat polisi repot bisa mendapatkan remisi pada saat baru beberapa bulan mendekam di penjara. Belum lagi alasan yang digunakan adalah karena ia berkelakuan baik selama di penjara. Definisi berkelakuan baik di sini sangat sumir. Seorang tahanan bisa menerima beberapa remisi dalam waktu satu tahun, mulai dari remisi hari raya, remisi 17 agustus, remisi berkala, dll. Masih ditambah lagi dengan fakta bahwa tahanan yang berduit bisa merancang sendiri kamar tahanannya sehingga mirip dengan jenis apartemen studio yang dilengkapi alat komunikasi. Plus ijin keluar penjara untuk berbagai keperluan.

Hujan di Polonia

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/04/utama/4045437.htm

Sekitar 30 tahun berselang setelah lagu Bimbo berjudul Hujan di Polonia itu diciptakan, penantian di bandara di tengah Kota Medan itu—dikenal sebagai salah satu tempat mendarat yang sulit—ternyata masih tetap terasa.

Jika Iin Parlina (Bimbo) dalam lagu itu menantikan kedatangan seorang kawan dalam keintiman, dalam rasa aman, tanpa rasa waswas, tepat 1 Desember 2007, bangunan dua lantai terminal kedatangan justru musnah ditelan api.

Kini, ribuan calon penumpang, entah sampai kapan, tak bisa tidak jadi khawatir, perasaan tidak aman muncul dengan sendirinya saat datang ke atau pergi dari Polonia. Ini problem serius.

Cuplikan di atas diambil dari berita halaman muka Kompas hari ini. Saya merasa keberatan dengan bangun kalimat di paragraf ke-dua karena tidak menunjukkan hubungan kesepadanan antara keadaan di jamannya Iin Parlina dan keadaan sekarang. Yang satu bicara soal perasaan, yang lainnya bicara soal terminal yang terbakar. Kalau bicara masalah perasaan maka seharusnya anak kalimat tentang Iin Parlina langsung dihubungkan dengan paragraf 3 yang memuat perasaan khawatir dan tidak aman.

Terlepas dari masalah bahasa itu, berita tentang kebakaran bandara Polonia ini sangat tepat diletakkan di halaman muka. Bencana yang disebabkan karena kelalaian manusia terus saja terjadi di negara ini. Di sektor transportasi, darat-laut-udara, bencana datang silih berganti. Lucunya, jalan keluar yang diambil presiden adalah dengan mengganti menteri perhubungan. Jalan pintas yang tentu saja tidak akan menyelesaikan permasalahan. Yang harus dibenahi adalah etos bekerja pegawai negeri. Kalau tidak salah, sang presiden di masa-masa awal pemerintahannya pernah menyebutkan soal meritocracy, soal carrot and stick, reward and punishment. Ini yang harusnya diimplementasikan. Pejabat, mulai dari yang paling rendah sampai menteri, harus tahu bahwa ia bisa dihukum atau dipecat karena kelalaiannya. Untuk menghindari cuci tangan ala Pontius Pilatus, atasan juga harus tahu bahwa ia ikut bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian anak buahnya karena sebagai atasan ia mengemban fungsi pengawasan dan pendidikan.

Bencana karena kelalaian manusia terlihat lagi pagi ini. Hujan yang mengguyur Jakarta dari tadi malam telah membuat sebagian Jakarta tergenang. Kita lalai membangun saluran air ketika membangun komplek perkantoran, pertokoan maupun apartemen. Kita lalai membangun taman dan waduk untuk menyerap air hujan. Kita lalai membersihkan got, kanal dan sungai. Kita lalai menerapkan budaya bersih walaupun selalu meneriakkan slogan "kebersihan adalah sebagian dari iman". Percuma kita menanam 70 juta pohon kalau kita masih mengadopsi gaya hidup lalai. Karena, kita juga bisa lalai merawat pohon yang kita tanam itu.

Senin, 03 Desember 2007

Pil KB darurat salah arah

Menutup halaman Kompas hari ini saya harus memberikan dua jempol untuk penulis artikel ini. Perumpamaan yang digunakan sangat tepat. Orang lain berhubungan seks, saya yang harus minum pil nya....hahahaha... Luar biasa Kompas!

Berita yang tidak lengkap

Halaman Kompas tentang SEA Games XXIV tampaknya mengabaikan hak-hak orang dungu seperti saya. Saya bukan peminat olahraga, dan karenanya jarang membaca berita-berita tentang olahraga. Tetapi, karena berita tentang SEA Games ini menyita satu halaman penuh dan berada di lembaran terpisah, maka terbaca juga akhirnya oleh saya. Sebagai orang dungu, saya tidak tahu kapan SEA Games XXIV akan diselenggarakan. Sampai selesai seluruh halaman saya baca tidak ada informasi sedikitpun mengenai tanggal penyelenggaraan. Yang ada hanya tempat. Jadi, pertanyaan "when" tidak terjawab. Atau, apakah mata saya sudah tidak awas lagi?
Setelah membalik ke halaman 34 baru terlihat logo SEA Games XXIV yang mencantumkan tanggal penyelenggaraan. Ah, dasar dungu. Ternyata saya bukanlah pembaca yang pintar dan kreatif, saya adalah pembaca Kompas yang malas dan selalu mengharapkan wartawan Kompas akan memberikan berita selengkap mungkin. Ah...

Markisa gulung tikar?

Wah, Marissa Haque rupanya bangkrut gara-gara ikut pilkada Banten, euy... Kasihan... Begitu yang saya pikirkan waktu membaca judul berita di halaman 22. Eh, ternyata yang menggulung tikar adalah buah markisa. Hmm..bagaimana ya sebuah markisa bisa menggulung tikar??? Lain halnya kalau disebut "industri markisa".
Pusing ah

Museum Bahari digenangi air laut

Judulnya sangat pas, fotonya apa lagi. Mungkin Pemerintah DKI Jakarta perlu memikirkan untuk memindahkan Museum Bahari ke laut. Itu akan menjadi museum terapung pertama di dunia :)

Keroncong dan gamelan di Johor

Bagus sekali Kompas mengangkat isu ini sehingga kita bisa lebih tergugah untuk menghargai kekayaan budaya bangsa. Kita hanya jago berteriak dan menyalahkan orang lain, tetapi lupa menjaga harta kita.
Ketika sedang membuat fotocopy KTP di suatu kios kecil di perempatan Mampang, saya mendengar lagu anak muda masa kini yang dibuat dengan gaya keroncong. Menarik sekali, tidak kalah dengan gaya rock, R&B atau pop. Menurut penjaga kios, itu adalah hasil rekaman indi (indipendent) kelompok band yang tidak terkenal.
Mungkin sudah waktunya ada festival keroncong anak muda, sehingga kita bisa melihat bagaimana generasi itu menghargai dan mencerna keroncong.

Salut untuk Kalla dan Budi

Isu demokrasi dan kesejahteraan rakyat yang digulirkan Jusuf Kalla, dan dimuat secara menarik di Kompas, telah berhasil menciptkan diskusi hangat tentang masa depan demokrasi di Indonesia. Selain itu, Politika Budi Shambazy juga berhasil menciptakan buzz word "demokrasi asal beda" yang sekarang banyak dikutip para pakar dan politikus.
Moga-moga diskusi tentang isu ini bisa memberi pencerahan sehingga kita bisa kembali ingat pada tujuan hidup bernegara.
Bravo untuk kedua bung ini.

Gugatan kalah?

Gugatan kalah atau gugatan ditolak? Menurut saya ada dua pilihan yang lebih tepat untuk judul ini "Gugatan PT Timor ditolak" atau "PT Timor kalah". Hal ini sebenarnya sudah secara tepat dituliskan pada lead berita halaman 4, tapi entah mengapa judulnya kok malah ngawur. Selain itu, ada rasa gatal kecil ketika membaca paragraf tentang Andi Samsan. Penggunaan kata "mengaku" pada dua kalimat yang berurutan dan menyangkut orang yang sama rasanya terlalu berlebihan. Kata "mengaku" pada kalimat ke-dua seharusnya bisa dihilangkan.
Sayang sekali. Padalah, isi berita sangat baik karena secara rinci memuat latar belakang permasalahan.

Buruk rupa cermin dibelah

Terbakarnya terminal domestik bandara Polonia menambah panjang daftar insiden dan kecelakaan di bidang transportasi publik. Kalau dilihat daftar panjang tersebut, kebanyakan terjadi karena faktor kelalaian manusia. Dalam berita Kompas kemarin disebutkan bahwa hidran yang ada di bandara ternyata tidak berfungsi. Mengerikan! Kelalaian ini harus dibayar sangat mahal, bukan saja dari segi materi tetapi juga dari segi reputasi dan kepercayaan.
Kemudian, ketika negara-negara Eropa menyatakan tidak akan mencabut larangan terbang maskapai Indonesia kita langsung berang dan mengatakan ada agenda politik dll di sini. Betapa bebalnya bangsa ini. Buruk rupa, cermin lah yang dibelah.

Tolong: Kaum miskin yang justru tidak bertanggung jawab?

Saya termasuk orang yang paling jarang membaca berita tentang UNFCCC karena agak sedikit muak. Pengalaman singkat saya bergabung dengan sebuah NGO konservasi membawa pencerahan tentang apa yang umumnya mereka lakukan untuk konservasi lingkungan: seminar di ruang ber-AC, miting di tempat-tempat liburan yang indah, perjalanan dinas ke luar negeri, dan gaji yang besar.
Semuanya itu dibayar oleh para donator (termasuk donor individual seperti anak-anak sekolah yang menyisihkan uang jajannya untuk "menyelamatkan" seekor orangutan). Semuanya itu dilakukan dengan memberi kontribusi pada pemanasan global (ruang ber-AC, perjalanan dengan kendaraan bermotor atau pesawat udara). Kalau hal itu terjadi di abad lalu mungkin saya masih bisa mengerti. Tetapi, di abad teknologi seperti sekarang ini semuanya bisa dilakukan secara jarak jauh, sangat murah dan ramah lingkungan.
Saya tidak mengatakan bahwa NGO konservasi tidak seharusnya ke luar kantor. Sebaliknya, mereka seharusnya ada di lapangan, bekerja bersama masyarakat. Yang terjadi, banyak NGO lebih memilih lingkup kerja yang dikenal sebagai "policy advocacy", yaitu fokus pada perubahan kebijakan. Dan di sinilah muncul seminar, workshop, miting, dll. Fokus ini memang lebih enak, rentang waktunya bisa sangat panjang dan tidak berkeringat. Betapa nyamannya kita membicarakan hutan yang rusak dan iklim yang berubah dari ruang miting hotel bintang 4. Sementara kita masih sibuk bermiting ria, penebangan hutan liar terus berlangsung. Pada saat dicapai kesepakatan perubahan kebijakan untuk mendorong konservasi, tidak ada lagi hutan tersisa untuk dilestarikan. Saya pernah melihat laporan program sebuah NGO yang secara umum menyebutkan bahwa 70% dana digunakan untuk kegiatan "operasional" dan 30%untuk kegiatan konservasi.
Waduh! Makanya saya tidak lagi terpukau dengan label "green" yang sering diusung NGO, apalagi kalau sifatnya hanya seremoni tanam pohon dan panggung gembira artis.
Untuk saya, kegiatan konservasi tidak harus selalu dengan tanam pohon (karena tidak semua orang mempunyai lahan untuk ditanami). Kita bisa mulai dengan cara yang sangat sederhana yaitu tidak membuang sampah sembarangan, sekecil apa pun. Karena masih banyak orang, termasuk para penggiat acara "green", yang membuang sampah sembarangan. Coba saja datang ke tempat acara "green". Setelah acara usai akan tampak begitu banyak sampah yang ditinggalkan peserta, mulai dari gelas plastik sampai styrofoam.

OK, saya sudah meracau tidak karuan. Sekarang kembali kepada berita Kompas halaman 1. Yang saya baca adalah side colomn tentang dampak perubahan iklim bagi petani. Ini yang lebih penting daripada UNFCCC. Menjelang akhir berita, ada kalimat yang mengganggu karena memberikan arti yang berlawanan. Saya rasa ini karena salah menerjemahkan ucapan Kemal Darvis dari UNDP.

Di situ dikatakan: "....perubahan iklim pada akhirnya merupakan ancaman terhadap kemanusiaan secara keseluruhan. Akan tetapi, adalah kaum miskin yang justru tidak bertanggung jawab atas utang lingkungan penyebab segala bencana, yang harus menghadapi ongkos kemanusiaan paling langsung dan terbesar."
Saya bingung membaca kalimat di atas. Adalah kaum miskin yang justru tidak bertanggung jawab? Rasanya ada yang salah dalam kalimat ini. Apakah mungkin maksudnya: "Akan tetapi, adalah kaum miskin yang justru harus bertanggung jawab atas utang lingkungan penyebab segala bencana, yang harus menghadapi ongkos kemanusiaan paling langsung dan terbesar."

Sabtu, 01 Desember 2007

1,4 juta warga DKI stres, saya juga stres

Minat saya memang banyak pada masalah sosial dan kesehatan. Karena itu berita di halaman 26 ini saya baca baris per baris. Sayangnya, ada beberapa kalimat yang menurut saya perlu diperbaiki.

Misalnya paragraf 3. Saya akan menuliskannya begini: Sementara itu, pada tahun 2006 jumlah penderita stres diperkirakan mencapai 1,8 juta orang dari total 7.790.235 pasien yang berkunjung ke puskesmas di Jakarta.

Paragraf 7: Sejauh ini baru 7,1 persen kasus stres dan gangguan kejiwaan yang ditangani puskesmas di Jakarta. Salimar Salim menjelaskan bahwa DKI Jakarta memiliki 333 puskesmas terdiri dari 44 puskesmas kecamatan dan 289 puskesmas kelurahan.

Paragraf 9 dan 10: Sementara itu, jumlah pasien sakit jiwa di Jakarta terus bertambah. Setiap tahun ada sekitar 1000 kasus sakit jiwa yang ditangani RSJ Soeharto Heerdjan (dulu dikenal sebagai RSJ Grogol-Red). "Belum lagi di RSJ lain, seperti RSJ di Duren Sawit dan RSJ swasta di Jakarta Selatan," kata Aminullah. Dari total pasien sakit jiwa tersebut, 80% di antaranya adalah pasien rawat jalan.

Warga butuh terpal (tidak butuh nyanyian)

Berita di halaman 23 ini terasa sangat menyedihkan bila disandingkan dengan berita di halaman 3 tentang presiden bernyanyi. Banjir dan angin puting beliung yang terjadi di banyak wilayah sepertinya tidak diketahui oleh bapak presiden yang terhormat. Mungkin bapak presiden perlu menciptakan lagu tentang bencana, mirip-mirip lagunya Ebiet G Ade yang terkenal itu.

Presiden bernyanyi

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala ketika membaca berita di halaman 3 ini. Bukannya mengurusi negara yang compang-camping, presiden malah lebih sibuk bernyanyi. Berbicara dengan artis penyanyi memang lebih menyenangkan (dan lebih wangi) daripada berbicara dengan masyarakat Porong. Pak presiden juga tidak tampak galau memikirkan harga minyak yang terus meningkat.
Soft power, kata beliau. Soft leader, kata saya.
Mengubah perilaku bangsa lewat lagu???? Haahaha....nice try.
Apakah kita bisa mengembalikan kawasan penyangga bakau melalui lagu? Apakah kita bisa menghentikan banjir dengan lagu? Apakah kita bisa mencegah penebangan liar dengan lagu? Apakah kita bisa menghentikan orang membuang sampah sembarangan dengan lagu?
Tidak, bapak presiden. Strong leader, itu lah yang bisa melakukan semuanya.

Demokrasi yang tidak untuk demos

Setiap hari Sabtu saya selalu membaca Kompas dari halaman 15, bukan dari halaman 1. Politika adalah sasaran saya. Kolom yang diasuh Budi Shambazy ini seringkali nyinyir tapi tepat menohok. Suaranya adalah suara rakyat kebanyakan, dan disampaikan dalam bahasa dan logika rakyat kebanyakan.
Sangat menarik membaca penjelasan profesor dari Amerika Serikat tentang demokrasi yang diperoleh dari hasil pengamatan terhadap perilaku primata (that only reflects how close we are to that species...). Budi dengan cantik mengangkat kebiasaan berbual-bual sambil makan singkong dan menyeruput bandrek. Itu lah, rasanya, yang dilakukan para anggota dewan yang terhormat (saya tidak rela menyebutnya wakil rakyat) dan para politikus (gerombolan tikus?).
Saya juga setuju dengan pernyataan Budi bahwa perilaku bangsa ini tidak compatible (bersesuaian) dengan demokrasi. Contoh perilaku menyangkut parkir mungkin merupakan contoh yang paling sederhana dan dapat dijumpai hampir setiap hari. Masih banyak lagi contoh kasat mata. Di jalan raya kita bisa melihat perilaku pengendara sepeda motor yang salip kiri kanan dan perilaku pejabat yang selalu minta didahulukan (bahkan di hari Minggu yang sepi dan untuk menghadiri acara makan siang). Di ranah kehidupan beragama ketidaksesuaian ini tampak lebih terang. Penindasan terhadap minoritas masih terjadi, labelisasi "sesat" dengan mudah diberikan (bahkan oleh pemerintah). Perbedaan pendapat masih dianggap sebagai pembangkangan.
Saya melihat Jusuf Kalla lebih siap dengan konsep demokrasi. "Siapapun boleh tebar apa saja" adalah pernyataan yang luar biasa. Saya juga setuju dengan pernyataannya tentang demokrasi sebagai cara dan bukan sebagai tujuan.
Sejak reformasi bergulir di tahun 1998, demokrasi menjadi kata sakti yang digunakan untuk menggulingkan dan menggusur semua aturan. Atas nama demokrasi raja-raja kecil bermunculan di kabupaten. Atas nama demokrasi para menteri boleh berbeda pendapat dengan presiden. Atas nama demokrasi anggota dewan yang terhormat boleh seenaknya mengatur anggaran untuk kemewahan dirinya. Atas nama demokrasi pula para pengendara motor boleh melanggar aturan lalu lintas satu arah.
Jadi, betul sekali pak Kalla. Kita harus kembali melihat apa yang menjadi tujuan hidup bernegara: kemakmuran rakyat.