Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Senin, 18 Februari 2008

Mengapa Papua tetap miskin?

http://kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.18.01384644&channel=2&mn=12&idx=12

Paragraf terakhir dalam artikel yang menarik ini berbunyi: Gubernur Papua Barnabas Suebu menyatakan, kondisi Papua saat ini paradoksal. Meskipun menerima dana yang sangat besar dari pemerintahpusat, namun 80 persen penduduk Papua masih miskin dan berada di bawah garis kemiskinan. Ini diperparah dengan pengelolaan anggaran yang selama ini diakui kurang baik, tidak transparan. "Akibatnya, mereka hidup miskin di atas kekayaan mereka sendiri," ujar Barnabas.

Saya tidak mengerti mengapa wartawan Kompas tidak berusaha memancing pernyataan lebih banyak dari Suebu karena pastilah menarik untuk mengetahui alasan kesalahan pengelolaan anggaran di Papua. Suebu adalah pejabat, seorang gubernur. Ia ikut bertanggung jawab atas kesalahan itu. Ke mana larinya uang yang begitu besar? Siapa yang melakukan penggelapan? Apa tindakan yang akan diambil? Bagaimana perencanaan pembangunan di Papua menurut Suebu? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu lah yang lebih menarik. Dan, sayangnya, Kompas gagal menampilkannya.

Sabtu, 09 Februari 2008

Orientasi pada kekuasaan

Kelakuan orang-orang yang menamakan dirinya politikus (tikus yang banyak...) atau aktivis (aktif bicara...) semakin membuat saya muak. Mereka kebanyakan adalah orang-orang pintar, sebagian bahkan menyandang gelar akademis dengan banyak "S".

Menjelang tahun 2009, di mana akan digelar perhelatan akbar dengan biaya triliunan rupiah untuk memperlihatkan kepada dunia luar bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, partai politik bersama para pengamat politik dan aktivis mulai ramai memperbincangkan wacana ambang batas perolehan kursi di parlemen. Ya, isu utamanya adalah KURSI! Dan kursi ini berhubungan erat dengan kekuasaan.

Kompas hari ini menyebutkan usulan empat partai besar (Golkar, PDIP, PKB dan PKS) untuk meningkatkan ambang batas menjadi 2,5-3 persen. http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.09.04292982&channel=2&mn=12&idx=12 Usulan yang sebetulnya masuk akal kalau melihat bahwa banyak partai kecil yang hanya meraup suara sangat sedikit ternyata diuntungkan dengan sistem perhitungan suara yang berlaku saat ini.

Yang bagi saya sangat menggelikan, atau lebih tepatnya memuakkan, adalah argumentasi Dita Indah Sari dari Partai Persatuan Pembebasan Nasional. Kutipannya <>

Pernyataan tersebut hanya membuktikan bahwa orientasi dari pendirian partai politik hanyalah kursi, bukan untuk memperjuangkan idealisme atau kepentingan konstituen. Dita jelas mengakui bahwa DPR cenderung satu suara dalam keputusan-keputusan penting sehingga jumlah partai tidak terlalu menjadi masalah. Itu berarti, tidak ada manfaatnya partai-partai kecil duduk di DPR. Jadi, mengapa ia harus menolak penerapan ambang batas yang leibh tinggi??

Kembali ke KURSI!

Sabtu, 02 Februari 2008

Tajuk Rencana yang tidak jelas

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.02.07484084&channel=2&mn=11&idx=11

Pagi ini acara minum kopi saya agak terganggu gara-gara membaca Tajuk Rencana. Rasanya saya menjadi orang yang sangat bodoh karena tidak bisa menangkap arah dan tujuan TR yang berjudul "Peduli Moral Bangsa". Judulnya saja sudah aneh, apalagi setelah membaca paragraf pertama yang menggunakan wacana pemberian gelar (dan tidak disebutkan gelar apa!) bagi almarhum Soeharto. Kemudian paragraf ke dua masuk kepada pertemuan tokoh-tokoh agama di Lampung yang menyerukan revolusi mental budaya, dll. Tidak jelas apa hubungannya.

Paragraf 4 memuat pokok pikiran yang kontradiktif, menurut saya. Di satu sisi dikatakan bahwa dalam masyarakat modern agama dikembalikan pada spiritualisme yang sifatnya pribadi. Tetapi juga dikatakan bahwa agama sering tampil sebagai pendukung kemapanan, dll.

Kemudian muncul paragraf 5 dan 6 yang semakin tidak jelas arahnya. Seakan TR ini dibuat oleh seseorang yang mengantuk atau mabuk.

Agama tidak sama dengan moral, walaupun agama mengandung banyak pesan moral. Yang terjadi selama ini adalah akibat dari dilembagakannya agama, tampak jelas dengan adanya Departemen Agama. Konflik horisontal yang berlangsung selama bertahun-tahun juga adalah akibat dari menjadi publiknya agama. Saya selalu berpandangan bahwa agama adalah urusan privat seseorang dengan khaliknya. Masyarakat adalah kumpulan dari individu. Jadi, kalau setiap individu berusaha menjadi baik dengan mengamalkan ajaran agamanya pada dirinya sendiri saja, akan terbentuklah masyarakat yang baik. Ini adalah pemikiran sederhana saya.

Yang terjadi saat ini adalah orang sibuk memperhatikan dan menilai orang lain. Maka itu banyak terjadi perusakan atas nama agama "Karena mereka tidak menjalankan ajaran agama dengan benar".

Seruan Kompas pada paragraf terakhir untuk "perlunya perhatian pada moralitas bangsa" terdengar sangat janggal. Bagaimana kita mendefinisikan "moralitas bangsa"???? Apalagi kemudian dikaitkan dengan wacana pemberian gelar pahlawan untuk almarhum Soeharto.....