Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Rabu, 09 Juli 2008

Eskalasi....HELP...HELP....

Hari ini mata saya mendadak menjadi merah, sakit, dan gatal karena membaca kata "eskalasi" yang digunakan secara serampangan.

Kata "eskalasi" muncul di halaman 18 sebagai bagian dari judul berita "Eskalasi belum ditetapkan, proyek pemerintah terhambat". Kening saya langsung berkerut... Kata eskalasi harus diikuti dengan suatu obyek, misalnya "terjadi eskalasi konflik di Poso". Dalam berita Kompas ini, yang ingin dikatakan sebetulnya adalah "penyesuaian harga proyek". Harap diingat, di Indonesia penyesuaian = kenaikan. Dalam artikel tersebut memang ada kutipan dari Direktur Utama PT Wijaya Karya yang menggunakan kata "eskalasi" secara tidak tepat. Yang mengherankan, Kompas sebagai suatu media massa yang pintar kok ikut-ikutan menggunakan kata tersebut secara salah, dan menggunakannya sebagai judul pula....

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/09/01195976/eskalasi.belum.ditetapkan.proyek.pemerintah.terhambat

Ada satu lagi kata eskalasi yang digunakan secara salah hari ini, tapi saya lupa di rubrik yang mana. Akan saya tambahkan kalau nanti sudah ketemu...

Rabu, 02 Juli 2008

Presiden tidak kenal Artalyta ;-)

Judul yang digunakan Kompas untuk berita di halaman utama ini sangat menarik dan tepat sekali. Dari pemberitaan tiga kolom ini yang sesuai dengan judul hanyalah satu kolom, selebihnya membahas mengenai perilaku hakim agung (yang tidak agung).
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/01/23562663/presiden.tak.kenal.artalyta

Andi Mallarangeng, seperti biasa, mati-matian membela tuannya. Manusia ini semakin lama semakin kelihatan kedangkalan cara berpikirnya. Yang menarik bukan itu. Yang menarik adalah bahwa saya sudah lama mendengar "isu" ini dari beberapa teman wartawan, bahkan dengan versi yang jauh lebih heboh. Dengan mengangkatnya sebagai judul berita maka Kompas berhasil mengirimkan sinyal kepada orang-orang yang belum pernah mendengar isu ini.

Kalau masih mempunyai urat malu, Andi harus siap-siap mengambil posisi burung unta yang membenamkan kepalanya ke dalam pasir sementara pantatnya masih tertinggal di luar.

Di teras atau di money changer? Sekali lagi tidak teliti

Sudah lama saya tidak menulis tentang Kompas. Tidak berarti bahwa tidak ada yang perlu dicatat dari pemberitaan Kompas, tetapi lebih pada kesibukan saya yang agak tinggi akhir-akhir ini.

Tapi pagi ini saya tidak dapat menahan diri untuk tidak menulis ketika membaca berita di halaman muka tentang maraknya korupsi di DPR.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/01/23560282/korupsi.diduga.marak.di.dpr

Saya adalah orang yang sangat "visual", sangat cepat tertarik dengan gambar. Karena itu, ilustrasi tentang kronologi penangkapan Buyan Royan menjadi menarik. Komentar saya ketika melihat ilustrasi tersebut adalah "Bukan main bodohnya pola permainan orang ini. Masak tas berisi uang suap ditinggal di teras untuk diambil oleh BR. Teras itu adalah tempat yang sangat terbuka, apalagi teras Plaza Senayan." Komentar itu samasekali tidak bermaksud membenarkan tindakan BR. Sama sekali tidak. Saya seperti membaca novel thriller dan merasa kesal karena tindakan kriminal yang seharusnya "seru" malah ditampilkan secara "bodoh".

Walaupun kesal, saya tetap meneruskan membaca seluruh berita tersebut sampai ke halaman 15. Di situ ada komentar Chandra Hamzah, wakil ketua KPK, bahwa uang tersebut dititipkan oleh penyuap di money changer yang kemudian diambil oleh BR. Sebagai orang yang sangat reseh dengan detail, saya mulai bertanya, bagaimana kejadian yang sebenarnya. Kecuali memang ada money changer di teras Plaza Senayan....yang sangat saya ragukan kemungkinannya.