Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Rabu, 21 November 2007

Pelanduk dan gajah

Akhirnya blog ini lahir setelah lama direncanakan tetapi selalu tertunda karena berbagai kegiatan yang tidak jelas.
Kompas pagi ini menampilkan isu menarik (atau lebih tepatnya: menyedihkan) mengenai pelanduk yang berjuang melawan gajah. Bagi orang-orang seusia saya yang pernah merasakan nikmatnya berkunjung dan berbelanja ke pasar tradisional, kehadiran peritel raksasa terasa cukup menyesakkan dada. Berbelanja bukan hanya sekadar datang, lihat, pilih, ambil dan bayar. Berbelanja mencakup aspek sosial di mana penjual berinteraksi dengan pembeli, ada percakapan. Di situlah nikmatnya berbelanja.
Di belahan dunia lain, tempat asalnya para peritel raksasa itu, mereka hanya boleh berjualan di pinggiran kota. Di dalam kota orang bisa berbelanja kebutuhan sehari-hari di toko atau pasar tradisional. Ada juga supermarket, tetapi bukan peritel raksasa. Kalaupun ada toko serba ada (department store) yang serba lengkap, harga barang-barangnya biasanya di atas harga pasar tradisional sehingga tidak akan mematikan pedagang kecil. Saya sangat menikmati proses berjalan dari satu toko ke toko yang lain, dari toko sayur ke toko daging. Karena lokasi toko-toko itu biasanya dekat dengan pemukiman maka biasanya pembeli dan penjual menjadi saling kenal.
Di Jakarta tahun 70-80an hal ini masih lumrah terjadi. Blok M masih merupakan kumpulan toko yang menjual beragam barang, pasar Hias Rias di Cikini terkenal dengan sepatu dan tas.
Pada saat pedagang raksasa masuk, dimulai dengan Makro sekitar tahun 90an, peraturan yang meletakkan pedagang besar dan grosir di pinggiran kota masih berlaku. Entah kenapa, peraturan ini memudar seiring berjalannya waktu. Kompas menyebutkan adanya Peraturan Daerah DKI Jakarta no.2/2002 tentang Perpasaran Swasta yang mengatur jarak peritel modern adalah 2,5 kilometer dari pasar tradisional. Peraturan ini, entah kenapa, tidak menjadi pertimbangan hakim yang memutuskan perkara gugutan pedagang ex Pasar Melawai. Alasannya, belum terjadi kerugian karena Carrefour belum benar-benar beroperasi di Blok M Square. Ini adalah logika yang sangat tidak logis karena tidak mempertimbangkan aspek pencegahan suatu kerugian. Carrefour sudah secara terang benderang mempromosikan pembukaan gerainya di Blok M Square. Mengapa hal ini tidak menjadi pertimbangan hakim yang terhormat?
Ada satu fakta yang meresahkan dalam membaca artikel ini. Disebutkan bahwa Blok M Square dibangun oleh kelompok Agung Podomoro. Kelompok pengembang ini tampaknya selalu membangun properti bermasalah. Lihat saja Plaza Semanggi, Jakarta City Center serta berbagai apartemen Mediterania. Dan yang lebih meresahkan lagi, Kompas terlihat sangat "pro" terhadap pengembang ini. Dalam rubrik properti yang digawangi Abun Sanda kelompok ini mendapat porsi yang sangat besar. Hampir selalu muncul di halaman properti.
Mengapa? Saya bertanya.

Tidak ada komentar: