Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Kamis, 06 Desember 2007

Makan dan merokok

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/06/utama/4049589.htm

Kompas tepat sekali menampilkan berita tentang Boris di halaman muka dan berita tentang perayaan hari pangan sedunia di halaman 15. Dua berita ini mengandung pesan yang bertentangan, kemiskinan dan kemakmuran.

Presiden, ditampilkan dalam foto berjejer menggunakan baju seragam khas orde baru, tampil penuh percaya diri di Lampung. Ia mengatakan bahwa upaya dan kerja keras sudah membuahkan hasil, di antaranya pada program peningkatan produksi beras nasional 2 juta ton yang dilakukan pada awal 2007. Ia juga menyerahkan berbagai macam bantuan untuk petani dan peternak sebesar 411 miliar rupiah, 4000 ekor sapi, 7050 ton benih padi, 3850 ton benih jagung, 4030 kendaraan roda dua dan 63 kendaraan roda empat. Saya bingung....kaya sekali presiden kita ini ya... Kalau itu uang negara, mengapa tidak disalurkan melalui departemen yang menangani masalah tersebut?

Boris, sang nelayan, masih tercekik hutang yang sudah mencapai 17 juta + 1,4 juta. Semua itu gara-gara biaya BBM yang meningkat, jumlah nelayan yang bertambah, serta populasi ikan yang merosot. Orang dungu pun pasti bisa langsung mengatakan bahwa Boris akan "rugi bandar" karena pendapatan sekali melaut selama seminggu paling-paling hanya 50.000 ribu rupiah. Yang menyedihkan dari cerita si Boris adalah ketika Kompas menjabarkan biaya yang dihabiskan untuk sekali melaut yang mencapai 4,8 juta. Ada komponen "makan dan rokok" sebesar 1 juta rupiah. Bukan main...bahkan nelayan miskin seperti Boris masih rela menyisihkan uangnya, yang tidak seberapa, untuk membeli rokok. Bagaimana mungkin pemerintah masih tidak bisa melihat bahaya sebatang rokok? Sudah pasti Boris tidak membeli Marlboro yang mahal, mungkin hanya Jambu Bol. Tetapi, dampak kesehatan yang akan diterima penghisap Marlboro dan Jambu Bol tidak berbeda. Kanker paru tidak mengenal status sosial.

Pemerintah sibuk melakukan kampanye melawan narkoba. Mengapa tidak sekalian melakukan kampanye anti rokok? Penelitian sudah membuktikan bahwa rokok merupakan pintu masuk kepada narkoba. Nikotin di dalam rokok mempunyai sifat adiksi yang tidak kalah dengan candu. Rokok bahkan lebih berbahaya karena sangat mudah diperoleh, kadang-kadang malah dibagikan gratis oleh produsen rokok. Setiap orang bisa membeli rokok. Kebiasaan merokok juga menciptakan masyarakat yang egois, tidak peduli pada orang lain. Perokok dengan tenangnya mengebulkan asap tanpa memandang lingkungan sekelilingnya. Bukan hal yang aneh melihat seorang bapak merokok di samping istrinya yang sedang menggendong bayi. Ia tidak peduli kalau asap rokok yang penuh racun itu terhisap oleh istri dan anaknya.

Gerakan anti rokok ini harus didukung semua pihak. Kalau pemerintah mau berpikir jernih dan tidak mempedulikan "lobby" perusahaan rokok, akan terlihat bahwa penghasilan ekonomi yang diperoleh dari rokok tidak seimbang dengan dampak sosial dan kesehatan yang ditimbulkannya. Media besar seperti Kompas juga harus lebih serius mengangkat isu ini. Memang agak sulit karena perusahaan rokok mempunyai dana iklan yang luar biasa besarnya.

Tidak ada komentar: