Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Kamis, 06 Desember 2007

Kalla, sekali lagi

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/06/Politikhukum/4049054.htm

Saya akan sangat terlihat seperti pendukung Kalla karena sekali lagi saya ingin menyetujui ucapannya di Kompas halaman 5. Dana sebesar 149 triliun rupiah untuk pemilihan umum lebih tepat disebut sebagai pil pahit yang harus ditelan seluruh rakyat lintas sosial.
Mungkin latar belakang Kalla sebagai pengusaha telah membuatnya menjadi sangat memperhatikan efisiensi penggunaan uang. Usulannya mengenai efisiensi anggaran pemilu sangat mencerminkan karakter pengusaha, yaitu mendaur ulang barang-barang yang masih bisa digunakan. Memang aneh kalau setiap kali pemilu kita harus membeli komputer baru, alat komunikasi baru, kotak suara baru, kendaraan dinas baru, dll. Itu adalah barang-barang yang masih bisa digunakan. Disain dan ukuran kertas suara juga merupakan pemborosan yang tidak menambah nilai pada hasil pemilu.
Kalla mengatakan bahwa kita tidak bisa 100% menduplikasi gaya demokrasi di negara lain. Seperti yang saya tulis kemarin, tidak ada satu definisi baku mengenai demokrasi, begitu juga tidak ada satu gaya baku untuk demokrasi. Menurut saya, unsur yang selalu ada dalam demokrasi adalah "rakyat" atau "demos". Unsur ini lah yang seharusnya menjadi fokus perhatian setiap pemerintahan yang menyebut dirinya demokratis.
Keberanian Kalla menyampaikan pendapat dan pikirannya ini juga mungkin didukung oleh kekuatan finansialnya sebelum terjun ke politik. He has nothing to lose, kata orang.

Tidak ada komentar: