Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Selasa, 04 Desember 2007

Hujan di Polonia

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/04/utama/4045437.htm

Sekitar 30 tahun berselang setelah lagu Bimbo berjudul Hujan di Polonia itu diciptakan, penantian di bandara di tengah Kota Medan itu—dikenal sebagai salah satu tempat mendarat yang sulit—ternyata masih tetap terasa.

Jika Iin Parlina (Bimbo) dalam lagu itu menantikan kedatangan seorang kawan dalam keintiman, dalam rasa aman, tanpa rasa waswas, tepat 1 Desember 2007, bangunan dua lantai terminal kedatangan justru musnah ditelan api.

Kini, ribuan calon penumpang, entah sampai kapan, tak bisa tidak jadi khawatir, perasaan tidak aman muncul dengan sendirinya saat datang ke atau pergi dari Polonia. Ini problem serius.

Cuplikan di atas diambil dari berita halaman muka Kompas hari ini. Saya merasa keberatan dengan bangun kalimat di paragraf ke-dua karena tidak menunjukkan hubungan kesepadanan antara keadaan di jamannya Iin Parlina dan keadaan sekarang. Yang satu bicara soal perasaan, yang lainnya bicara soal terminal yang terbakar. Kalau bicara masalah perasaan maka seharusnya anak kalimat tentang Iin Parlina langsung dihubungkan dengan paragraf 3 yang memuat perasaan khawatir dan tidak aman.

Terlepas dari masalah bahasa itu, berita tentang kebakaran bandara Polonia ini sangat tepat diletakkan di halaman muka. Bencana yang disebabkan karena kelalaian manusia terus saja terjadi di negara ini. Di sektor transportasi, darat-laut-udara, bencana datang silih berganti. Lucunya, jalan keluar yang diambil presiden adalah dengan mengganti menteri perhubungan. Jalan pintas yang tentu saja tidak akan menyelesaikan permasalahan. Yang harus dibenahi adalah etos bekerja pegawai negeri. Kalau tidak salah, sang presiden di masa-masa awal pemerintahannya pernah menyebutkan soal meritocracy, soal carrot and stick, reward and punishment. Ini yang harusnya diimplementasikan. Pejabat, mulai dari yang paling rendah sampai menteri, harus tahu bahwa ia bisa dihukum atau dipecat karena kelalaiannya. Untuk menghindari cuci tangan ala Pontius Pilatus, atasan juga harus tahu bahwa ia ikut bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian anak buahnya karena sebagai atasan ia mengemban fungsi pengawasan dan pendidikan.

Bencana karena kelalaian manusia terlihat lagi pagi ini. Hujan yang mengguyur Jakarta dari tadi malam telah membuat sebagian Jakarta tergenang. Kita lalai membangun saluran air ketika membangun komplek perkantoran, pertokoan maupun apartemen. Kita lalai membangun taman dan waduk untuk menyerap air hujan. Kita lalai membersihkan got, kanal dan sungai. Kita lalai menerapkan budaya bersih walaupun selalu meneriakkan slogan "kebersihan adalah sebagian dari iman". Percuma kita menanam 70 juta pohon kalau kita masih mengadopsi gaya hidup lalai. Karena, kita juga bisa lalai merawat pohon yang kita tanam itu.

Tidak ada komentar: