Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Selasa, 04 Desember 2007

Demokrasi, Cara atau Bukan Cara

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/04/Politikhukum/4045104.htm
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/04/opini/4045987.htm

Pernyataan Jusuf Kalla dan Adnan Buyung Nasution di Kompas hari ini menarik untuk disimak. Saya setuju dengan pernyataan Kalla yang menjadi judul berita, yaitu bahwa bangsa ini lemah dalam soal implementasi.

"Dalam soal menggelar seminar, sampai membuat aturan perundangan, Indonesia tidak kalah, bahkan unggul dari negara-negara lain. Sekiranya kemajuan suatu negara diukur dari banyaknya keputusan presiden, keputusan menteri, dan seminar, saya kira negara kita patut diacungi jempol. Namun, semua itu bergantung pada pelaksanaannya," kata Kalla.

Hmm...kalau saja berkas seminar, naskah rancangan undang-undang, lembar-lembar keputusan presiden dll bisa menjadi komoditi ekspor, mungkin kita tidak perlu lagi bergantung pada ekspor migas.

"Ada beberapa hal yang tidak bisa diubah, yaitu kitab suci. UUD saja bisa diubah untuk kepentingan rakyat, apalagi keputusan menteri," ujar Kalla lagi. Dan, ucapan ini pun sangat masuk di akal saya.

Sebaliknya, opini Adnan Buyung di halaman 6 terasa penuh kemarahan dan menyiratkan pandangan yang merasa paling benar.

Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla di dalam pidato politiknya pada penutupan Rapimnas Partai Golkar di Jakarta, 25 November 2007, yang menjadi kesimpulan partai bahwa demokrasi hanyalah cara, alat, atau proses dan bukan tujuan sehingga bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan kesejahteraan rakyat (Kompas, 26/11/2007), amat mengejutkan dan perlu dikoreksi. Karena bukan saja salah, tetapi bisa menyesatkan persepsi masyarakat tentang makna demokrasi yang sedang kita bangun di era Reformasi ini.
Itulah paragraf pertama dari tulisan Buyung.
Reaksi saya waktu membaca ucapan Kalla juga sama dengan reaksi Buyung: terkejut. Tetapi saya terkejut karena ucapan tersebut keluar dari pejabat pemerintah, orang nomor 2 di republik ini. Buat saya, ini adalah suatu ucapan yang sangat berani dan pintar. Buyung terkejut karena ucapan Kalla ini seperti menihilkan perannya sebagai "pejuang demokrasi". Kalau Buyung mengatakan bahwa ucapan Kalla perlu dikoreksi, ia seperti mengatakan bahwa Kalla salah dan Buyung benar. Ini sangat tidak demokratis. Bukankah sebagai pejuang demokrasi ia selalu menjunjung tinggi perbedaan pendapat dan kebebasan mengemukakan pendapat?

Saya melihat Buyung mendefinisikan demokrasi secara sempit yaitu berhenti pada kebebasan berpendapat. Ketika saya mengetik kata democracy+definition di mesin pencari google, saya mendapatkan 2.020.000 link. Yang paling menarik adalah yang tercantum di wikipedia "No universally accepted definition of 'democracy' exists, especially with regard to the elements in a society which are required for it."

Pernyataan ini ternyata diambil dari survey majalah the Economist yang menyatakan:
Almost half of the world's countries can be considered democracies, but only 28 qualify as “full democracies”. There is no consensus on how to measure democracy, definitions of democracy are contested and there is an ongoing lively debate on the subject. Although the terms “freedom” and “democracy” are often used interchangeably, the two are not synonymous. Freedom is an essential component of democracy, but not sufficient. The Economist Intelligence Unit’s Democracy index is based on five categories: electoral process and pluralism; civil liberties; the functioning of government; political participation; and political culture.
Sejak era reformasi, kata "demokrasi" sudah menjadi ayat suci yang dielu-elukan para pengamat dan politikus. Padahal, ada elemen "the functioning of government" yang terlupakan di sini. Lihat saja, dari 28 negara yang dikategorikan sebagai negara full democracy, Swedia menduduki peringkat pertama dengan indeks 9,88 (angka tertinggi adalah 10). Dan kita semua tahu bagaimana kesejahteraan sosial di Swedia. Kita, dengan segala keriuhan mengenai demokrasi, bahkan tidak berhasil menatap muka rakyat di Porong yang merana karena masa depannya telah tertimbun lumpur Lapindo. Ada di mana kita, ada di mana Buyung, ada di mana pemerintah ketika rakyat Porong berteriak meminta tolong.

Jadi, memang benar apa yang dikatakan Kalla. Bangsa ini lemah dalam hal implementasi, kita lemah dalam mengimplementasi demokrasi.

Tidak ada komentar: