Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Sabtu, 01 Desember 2007

Demokrasi yang tidak untuk demos

Setiap hari Sabtu saya selalu membaca Kompas dari halaman 15, bukan dari halaman 1. Politika adalah sasaran saya. Kolom yang diasuh Budi Shambazy ini seringkali nyinyir tapi tepat menohok. Suaranya adalah suara rakyat kebanyakan, dan disampaikan dalam bahasa dan logika rakyat kebanyakan.
Sangat menarik membaca penjelasan profesor dari Amerika Serikat tentang demokrasi yang diperoleh dari hasil pengamatan terhadap perilaku primata (that only reflects how close we are to that species...). Budi dengan cantik mengangkat kebiasaan berbual-bual sambil makan singkong dan menyeruput bandrek. Itu lah, rasanya, yang dilakukan para anggota dewan yang terhormat (saya tidak rela menyebutnya wakil rakyat) dan para politikus (gerombolan tikus?).
Saya juga setuju dengan pernyataan Budi bahwa perilaku bangsa ini tidak compatible (bersesuaian) dengan demokrasi. Contoh perilaku menyangkut parkir mungkin merupakan contoh yang paling sederhana dan dapat dijumpai hampir setiap hari. Masih banyak lagi contoh kasat mata. Di jalan raya kita bisa melihat perilaku pengendara sepeda motor yang salip kiri kanan dan perilaku pejabat yang selalu minta didahulukan (bahkan di hari Minggu yang sepi dan untuk menghadiri acara makan siang). Di ranah kehidupan beragama ketidaksesuaian ini tampak lebih terang. Penindasan terhadap minoritas masih terjadi, labelisasi "sesat" dengan mudah diberikan (bahkan oleh pemerintah). Perbedaan pendapat masih dianggap sebagai pembangkangan.
Saya melihat Jusuf Kalla lebih siap dengan konsep demokrasi. "Siapapun boleh tebar apa saja" adalah pernyataan yang luar biasa. Saya juga setuju dengan pernyataannya tentang demokrasi sebagai cara dan bukan sebagai tujuan.
Sejak reformasi bergulir di tahun 1998, demokrasi menjadi kata sakti yang digunakan untuk menggulingkan dan menggusur semua aturan. Atas nama demokrasi raja-raja kecil bermunculan di kabupaten. Atas nama demokrasi para menteri boleh berbeda pendapat dengan presiden. Atas nama demokrasi anggota dewan yang terhormat boleh seenaknya mengatur anggaran untuk kemewahan dirinya. Atas nama demokrasi pula para pengendara motor boleh melanggar aturan lalu lintas satu arah.
Jadi, betul sekali pak Kalla. Kita harus kembali melihat apa yang menjadi tujuan hidup bernegara: kemakmuran rakyat.

Tidak ada komentar: