Membaca Kompas merupakan ritual pagi saya. Dan setiap kali saya membacanya selalu ada saja dialog dengan diri sendiri, entah mengenai isi, pesan, sudut pandang, maupun bahasa suatu tulisan. Dialog ini saya blog-kan agar dapat menjadi referensi saya.

Jumat, 07 Desember 2007

Pengalihan penggunaan BBM: kebijakan staccato

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/07/utama/4051802.htm

Berita mengenai ketidaksiapan masyarakat (maksudnya pasti adalah masyarakat kota Jakarta karena kebijakan pengalihan jenis BBM ini hanya berlaku di Jakarta) menarik untuk dibaca. Masalahnya, seperti juga "kebijakan" yang lalu-lalu, kebijakan pengalihan jenis BBM ini tidak tampak bijak karena dibuat secara impulsif, tanpa pemikiran yang menyeluruh, dan tidak merupakan bagian dari rencana besar (yang mungkin juga tidak pernah ada). Kebijakan yang staccato pasti menciptakan kejutan-kejutan tidak nyaman. Pemerintah sepertinya lebih banyak melamun (atau menciptakan lagu) sehingga lalai membuat perencanaan. Saya tidak tahu kapan pemerintah bisa duduk bersama untuk membahas masalah transportasi secara menyeluruh. Mereka (pemerintah) selalu menyuruh kami (rakyat) beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Tapi, mereka tidak pernah menyiapkan kendaraan umum yang layak dikendarai. Saya tidak akan pernah mau menyerahkan nyawa saya kepada supir metromini atau bis yang ugal-ugalan.

Saya setuju dengan Fauzi Bowo yang mencela pemerintah pusat karena tidak berkoordinasi dengan pemprov DKI Jakarta. Sekali lagi, hal ini menunjukkan kelemahan pemerintah dalam membuat kebijakan. Saya tidak mau bapak saya datang ke rumah saya dan seenaknya mengganti warna rumah saya, walaupun ia adalah bapak saya sendiri.

Ada ketidaktelitian dalam berita ini mengenai perbandingan penggunaan premium dan pertamax. Dikatakan: Pada masa transisi pengalihan BBM akan ada penurunan omzet SPBU. Pembelian di hari-hari pertama diperkirakan bakal sepi. Saat ini perbandingan pembelian premium dan pertamax 1:10. Saya bingung di sini. Yang saya tahu, pembelian premium jauh lebih tinggi daripada pertamax. Kenapa perbandingannya kok malah 1:10? Bukan kah seharusnya 10:1?

Selain itu, paragraf terakhir berita ini mengenai dampak kenaikan harga BBM terhadap nelayan seperti jatuh dari langit. Sedari awal berita ini hanya membahas masalah pengalihan penggunaan BBM di Jakarta, mengapa tiba-tiba ada nelayan?

Tidak ada komentar: